Rabu, 01 September 2010

Benteng Megah yang Tak Pernah Dipakai Perang

SHALAHUDDIN al Ayyubi adalah legenda yang masih hidup sampai sekarang. Namanya tercatat dalam buku-buku sejarah dunia dan salah satu peninggalannya masih berdiri megah di Kota Kairo. Yakni, Benteng Shalahuddin. Penguasa Mesir abad ke-12 kelahiran Tikrit, Iraq, itu dikenal sebagai pahlawan Islam dalam cerita Perang Sabil.

Benteng tersebut sangat megah, berdiri di kawasan Jabbal Muqattam. Kawasan itu termasuk perbukitan paling tinggi di Kairo. Shalahuddin memilih perbukitan tersebut untuk membangun benteng pertahanan dengan pertimbangan posisinya yang sangat strategis untuk mengontrol kawasan-kawasan penting dari serangan musuh.

Selain itu, udaranya cukup segar. Untuk mengetes kesegaran udara itu di perbukitan tersebut, Shalahuddin dikabarkan memerintah stafnya untuk menyebarkan daging di berbagai kawasan Kairo. Ternyata, daging di kawasan Jabbal Muqattam bertahan lebih lama dibanding di kawasan lain.

Kawasan itu juga sangat indah saat malam. Tak jauh dari benteng tersebut, saya sempat duduk-duduk dengan orang-orang yang sedang menikmati teh atau kopi sambil menyaksikan kerlap-kerlip Kota Kairo waktu malam.

Untuk memasuki benteng itu, kendaraan pribadi harus parkir agak jauh, di bawah bukit. Tidak ada kendaraan untuk naik, kecuali harus berjalan kaki.

Namun, dari jauh, keindahan benteng tersebut memang sudah sangat menarik hati, sehingga jarak ratusan meter untuk naik perbukitan tidak menjadi masalah. Ada tiga pintu gerbang yang bisa dimasuki untuk menuju benteng tersebut. Yaitu, dari arah barat, utara, dan selatan. Tapi, yang kini diaktifkan hanya pintu bagian selatan yang berhalaman luas yang sebagian untuk parkir bus-bus wisatawan.

Begitu masuk kompleks benteng, kita disambut pintu gerbang yang megah, dengan menara yang kukuh menjulang ke langit. Tinggi dinding benteng itu sekitar 10 meter dengan ketebalan 3 meter. Menara itu dibangun pada jarak setiap seratus meter sebagai konsentrasi pertahanan dari serangan musuh.

Di menara tersebut terlihat banyak lubang jendela untuk pasukan pemanah membidik sasaran musuh. Bagian paling atas adalah dek terbuka untuk menempatkan senjata meriam.

Benteng yang didirikan pada 1176 itu dibangun dengan arsitektur Kastil termaju di zamannya. Pertahanannya berlapis tiga. Yang pertama, pertahanan jarak jauh menggunakan meriam dan senjata panah. Itu dilakukan lewat menara-menara di sekeliling benteng.

Jika pasukan musuh berhasil masuk ke benteng, mereka akan disambut ruang terbuka di dalam benteng yang dikelilingi tembok-tembok tinggi. Dengan demikian, pasukan musuh akan menjadi sasaran empuk pasukan Shalahuddin yang bersiap di atas benteng.

Seandainya musuh berhasil melewati daerah itu, mereka akan disambut lorong-lorong bercabang yang panjangnya 2.100 meter. Di situlah pasukan musuh akan dibantai satu per satu.

Shalahuddin al Ayyubi datang ke Mesir pada usia 30 tahun bersama pamannya, Assaduddin Shirkuh, gubernur Homs di Syria, untuk melakukan ekspedisi militer. Mereka dikirim oleh penguasa Dinasti Abbasiyah, Sultan Nuruddin, untuk membantu Dinasti Fatimiyah yang berkuasa di Mesir mengatasi pergolakan politik yang membahayakan posisi Sultan Al 'Adid.

Misi itu sukses, sehingga Shirkuh diangkat menjadi penasihat Sultan 'Adid sampai wafat. Sepeninggal Shirkuh, Sultan 'Adid mengangkat Shalahuddin sebagai penasihat Kerajaan Mesir. Shalahuddin yang terlahir dari keluarga Islam Sunni mazab Syafii itu memang memiliki latar belakang militer yang kuat. Sebab, ayahnya, Najmuddin Ayyub, adalah salah seorang panglima perang yang tangguh dalam Dinasti Abbasiyah.

Selama menjadi penasihat sultan itulah, Shalahuddin belajar banyak yang kemudian menjadi batu loncatan bagi karirnya untuk menduduki takhta kekuasaan Mesir. Pada 1171, Sultan al 'Adid wafat. Shalahuddin pun menjadi penguasa penuh Kerajaan Mesir. Dia mengangkat dirinya sebagai sultan dan menjadi pendiri Dinasti al Ayyubi di Mesir. Kemudian, dia memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah yang berkuasa di Damaskus pada 1174, ketika Sultan Nuruddin wafat.

Dua tahun setelah berkuasa penuh itulah Shalahuddin membangun bentengnya di Kairo. Kekuasaannya meluas sampai ke Syria, Yaman, Maroko, Palestina, Iraq, serta sebagian Jazirah Arabiyah, termasuk kota suci Makkah.

Karena itu, tidak sedikit yang menyejajarkan kehebatan Sultan Shalahuddin dengan Umar bin Khathab, Umar bin Abdul Aziz, ataupun Harun Al Rasyid yang juga legendaris.

Shalahuddin memberikan warna yang berbeda kepada masyarakat Mesir, dengan mengubah orientasi keislaman mereka. Pada zaman Bani Fatimiyah, mazhab Islamnya adalah Syiah. Tapi, pada zaman Shalahuddin berangsur-angsur berubah menjadi Sunni bermazhab Syafii yang kental. Itu pun berlangsung sampai sekarang. Meski masyarakat Mesir sangat terbuka untuk berbagai aliran dan mazhab, Sunni lebih dominan.

Setelah merasa kuat dan bisa mengatasi situasi dalam negeri Mesir, Shalahuddin memulai Perang Sabil pada 1187 untuk merebut Al Quds di Palestina dari tangan orang-orang Kristen. Ada pula yang menyebut perang itu sebagai Perang Salib. Dalam waktu empat bulan, dia berhasil menguasai Tiberias dan Hittin.

Raja Yerusalem saat itu, Guy De Lugsinan, pun berhasil ditawan. Maka, itu menjadi pembuka jalan bagi dirinya untuk masuk ke Al Quds. Shalahuddin lantas membuat perjanjian damai dengan orang-orang Kristen untuk boleh memasuki Yerusalem. Sampai akhirnya, dia meninggal di Syria pada 1193 dan dimakamkan di sana.

***

Yang menarik, Benteng Shalahuddin yang megah itu ternyata tidak pernah digunakan untuk berperang selama masa berdirinya. Kini sudah berusia 834 tahun. Selama itu, benteng tersebut berganti-ganti tangan dari satu penguasa ke penguasa yang lain. Namun, hanya dipakai sebagai istana tempat tinggal raja dan sultan sampai abad ke-19. Sultan Ali Pasha adalah pendiri dinasti terakhir Kerajaan Mesir itu.

Orang besar meninggalkan karya besar dan namanya akan dikenang sepanjang sejarah kehidupan manusia. Shalahuddin al Ayyubi adalah salah seorang di antaranya. Dia seorang panglima perang yang hebat, politikus yang ulung, negarawan yang tangguh, sekaligus seorang ulama yang memberikan keteladanan lewat akhlaknya yang mulia.

Bukan hanya umat Islam yang mengakui kehebatannya, tapi juga para orientalis Barat. Di antaranya diceritakan dalam buku Talisman karya Walter Scott dan Nathan der Weise karya Lessing.

''Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan banyak mengerjakan amal kebajikan adalah sebaik-baiknya makhluk (QS 98: 7)''

''... maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala atas amal-amal mereka itu...'' (QS 3: 5). (bersambung/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 1 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=showpage&kat=1&subkat=53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar