Rabu, 08 September 2010

Menyusuri Laut Merah ke Tempat Nabi Khidr

TURUN dari Jabbal Musa yang kami naiki waktu sahur, kami sampai di penginapan pukul 10 pagi. Untuk menghilangkan lelah setelah mendaki Gunung Sinai semalaman, saya langsung beristirahat. Apalagi, setelah duhur kami harus checkout untuk melanjutkan perjalanan ke Sharm el Sheikh, sebuah kota di tepi Laut Merah yang masih berjarak sekitar 270 km ke arah selatan.

Menuju Sharm el Sheikh, kami tidak melewati rute yang kami lewati saat datang, melainkan mengambil rute selanjutnya. Kalau awalnya datang dari arah Teluk Suez di sebelah timur, kami melanjutkan perjalanan ke arah barat sehingga bertemu pantai Teluk Aqabah yang berseberangan dengan Jazirah Arab. Setelah itu, berbelok ke kanan melewati Kota Dahab, menuju ke ujung paling selatan dataran Sinai.

Kurang lebih empat jam kami menyusuri pegunungan batu dan padang pasir. Separo perjalanan terakhir menyusuri pantai Teluk Aqabah yang berseberangan dengan negara Arab Saudi. Pemandangan di kawasan ini tak kalah indah dengan pantai timur di Teluk Suez. Kami menyusuri pantai itu sejauh lebih dari 100 km. Di sebelah kanan, bukit dan padang pasir. Sedangkan di sebelah kiri, laut yang indah membiru.

Keindahan itu berujung di Sharm el Sheikh, kota paling selatan dari dataran Sinai. Ia terletak di tepi pantai Laut Merah yang luar biasa. Di sinilah Selat Aqabah bertemu dengan Selat Suez. Di sebelah kanan kami adalah laut yang menjorok ke Teluk Suez, sedangkan di sebelah kiri kami adalah laut yang menjorok ke Teluk Aqabah. Kami persis berada di persimpangan dua teluk itu.

Memasuki pintu gerbang kota, sudah terlihat pantai yang ramai dengan kapal-kapal pesiar. Di sepanjang pantainya berdiri gedung-gedung megah, hotel, apartemen maupun vila bergaya Eropa. Kota yang memanjang searah pantai itu terbagi dalam tiga wilayah. Yakni, wilayah permukiman lama yang disebut Old Town. Kedua, kawasan tepi pantai yang disebut Sharm el Moya. Di kawasan ini terdapat hotel-hotel mewah, tempat-tempat hiburan malam, spa, pusat perbelanjaan, dan segala macam permainan yang disesaki turis-turis Barat.

Kawasan ketiga adalah El Hadaba, kawasan yang dipenuhi permukiman warga asing untuk berlibur, seperti vila, kondominium, dan apartemen. Berada di kawasan ini seperti berada di kawasan Eropa. Apalagi, banyak bule yang berlalu lalang di jalan-jalan.

Kota Sharm el Sheikh sudah jauh berubah bila dibandingkan pada 1980-an. Dulu daerah ini merupakan desa nelayan yang kecil. Kawasan ini sempat menjadi rebutan antara Mesir dan Israel. Bahkan, pernah diduduki Israel pada 1956 dan 1967. Tetapi, kemudian dikembalikan ke Mesir pada 1982 atas tekanan PBB dan dunia internasional. Sekarang kawasan yang sangat strategis itu menjadi pantai wisata nomor wahid di Mesir, bahkan di Timur Tengah.

Presiden Hosni Mubarak sangat suka dengan tempat ini, sehingga sering menerima tamu-tamu negara atau menyelenggarakan pertemuan internasional di sini. Bahkan, hampir setiap tahun, selama libur Idul Fitri, Mubarak dan keluarga memilih berada di Sharm el Sheik untuk berlibur. Sampai-sampai ada yang menyebut kota ini sebagai kota Mubarak. Meskipun pernah dibom oleh kalangan radikal Mesir pada 2005, kota ini mendapat julukan City of Peace.

Memasuki kota, kami berusaha mencari lokasi yang disebut dalam Alquran sebagai tempat bertemunya dua laut itu. Dari peta kami tahu bahwa itu adalah kawasan yang kini bernama Ras Muhammad. Kawasan itu benar-benar berada di paling ujung dataran Sinai. Bentuknya tanjung yang menjorok ke laut.

Kawasan sepi itu kini menjadi cagar alam kehidupan biota laut yang sangat digandrungi wisatawan dunia. Mereka senang menyelam di lepas pantai karena di dasar lautnya ada ribuan jenis ikan dan terumbu karang yang langka. Bahkan, ada kawasan yang memiliki gugusan karang berusia dua juta tahun, yang memberikan banyak informasi tentang kondisi alam masa silam. Tak kurang dari 50 ribu penyelam setiap tahun datang ke Ras Muhammad. Daratannya memang sepi, karena kebanyakan turis langsung membawa kapal dari dermaga menuju ke lepas pantai agar bisa langsung menyelam.

***

Kemarin sore (6/9) menjelang matahari tenggelam, saya berada di pantai tempat bertemunya dua laut itu. Lokasinya seperti yang digambarkan dalam Alquran. Benar-benar surprise dan terasa seperti dalam mimpi. Di sinilah, ribuan tahun silam, dua hamba Allah bertemu untuk mempelajari salah satu rahasia ilmu Allah yang luar biasa tinggi, yaitu tentang kesabaran. Mereka adalah Nabi Musa, sang Kalimullah, dan Khidr, seorang misterius ''penunggu pantai'' yang tidak dikenal.

Allah menceritakan kisah itu dalam Alquran al Karim, ketika memerintahkan Musa untuk bertemu guru spiritual yang tak disebutkan namanya itu. ''Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun'' (QS 18: 60).

''Lalu mereka bertemu dengan seseorang di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami'' (QS 18: 65).

Mengapa Musa yang hebat itu -memiliki sembilan mukjizat dan bisa berbicara langsung dengan Allah di puncak Sinai- masih diperintah Allah untuk berguru kepada Khidr? Ternyata, Musa dianggap Allah belum memiliki kualitas kesabaran yang seharusnya. Apalagi, menghadapi umatnya -Bani Israil- yang terkenal sangat cerewet dalam beragama.

Musa berkata kepada Khidr, ''Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?'' (QS 18: 66). Dia menjawab, ''Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?'' (QS 18: 67-68).

Mendalam sekali dialog dua hamba Allah itu. Musa yang sedemikian hebat diprediksi Khidr tidak akan bisa bersabar mengikutinya karena ilmunya ''belum cukup''. Kesabaran ternyata hanya bisa dilakukan jika seseorang memiliki ilmunya. Jika tidak, ia hanya bisa ''menyabar-nyabarkan'' diri belaka. Terpaksa sabar. Belum benar-benar bersabar. Dan terbukti, selama mengikuti Khidr, Musa sering protes kepadanya ketika Khidr melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal.

Sesuatu dikatakan masuk akal atau tidak bergantung pada seberapa tinggi ilmu yang telah dimiliki seseorang. Karena itu, Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu dan mengedepankan akal sehat dalam menjalankannya. Hanya orang-orang yang berilmu dan berakal sajalah yang bisa menjalankan agama ini dengan baik, sehingga tercapai tatanan masyarakat yang rahmatan lil alamin yang sebenar-benarnya. (bersambung/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 7 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=154106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar