Selasa, 31 Agustus 2010

Masjid Berdampingan dengan Gereja dan Sinagoge

ADA sebuah kawasan di Kairo yang menjadi saksi bisu masuknya Islam ke Mesir. Yakni, kawasan Kairo lama. Di kawasan itu dulu terdapat Kota Fustat sebagai pusat pemerintahan Provinsi Mesir. Saat itu Mesir dipimpin Gubernur Amru bin Ash yang ditunjuk langsung oleh khalifah Umar bin Khathab yang berkedudukan di Madinah, setelah menundukkan kekuasaan Romawi di Mesir.

Memasuki kawasan Kairo lama, kita memang tidak bisa merasakan lagi kemegahannya. Khususnya, jika dibandingkan dengan kawasan Kairo modern yang penuh gedung bertingkat. Tetapi, sungguh sangat menarik jika kita melakukan penelusuran lebih jauh di Kairo lama. Terutama, memasuki lorong-lorong bawah tanah yang menjadi bagian kawasan asli waktu itu. Di sanalah saya menemukan gereja Kristen dan Sinagog Yahudi yang sampai sekarang masih aktif digunakan. Kedua tempat ibadah itu berada tidak jauh dari masjid besar Amru bin Ash yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan Mesir.

Beberapa kali saya sempat salat di masjid tua yang sudah berusia sekitar 1.500 tahun itu. Termasuk salat Tarawih. Saat itu imam salatnya menyenangkan. Bacaan Qurannya sangat bagus, suaranya merdu dan berwibawa. Salat di masjid itu terasa mantap dan khusyuk meski surat yang dibaca imam panjang-panjang. Setiap salat -dua rakaat, satu salam- rata-rata memakan waktu 15 menit. Maka, bagi yang menjalankan Tarawih 8 rakaat (plus tiga rakaat Witir), salatnya bisa memakan waktu sekitar satu jam. Sedangkan bagi yang menjalankan salat tarawih 20 rakaat (plus tiga rakaat salat witir), butuh waktu sekitar 2,5 jam.

Menjelang musim dingin seperti sekarang ini, waktu salat di Mesir dimajukan satu jam. Salat Isya yang biasanya pukul 21.30 menjadi pukul 20.30. Maka, salat Tarawih dengan 20 rakaat baru selesai sekitar pukul 23.30. Itu pun masih ada jamaah yang melanjutkan dengan salat Tasbih dan salat Tahajud, sepanjang malam.

Yang juga menarik, karena surat yang dibaca imam cukup panjang, banyak makmum yang menyimak sambil membaca kitab suci Alquran di tangan. Jadi, sambil berdiri salat, sebagian makmum membuka-buka Quran, sesuai dengan ayat yang dibaca imam. Pemandangan seperti itu jarang ada di Indonesia. Tetapi, di Mesir dan negara-negara Arab lainnya, salat seperti itu termasuk biasa. Bahkan, ada pula yang salat sambil membaca Alquran digital di handphone-nya. Yang tidak mengerti, mengira orang itu salat sambil SMS-an.

***

Amru bin Ash adalah panglima perang yang tangguh, sekaligus politikus ulung. Dia yang masuk Islam menjelang ditaklukkannya Kota Makkah, menjadi ujung tombak syiar Islam yang hebat di zaman Khulafaurrasyidin. Dia menjadi salah satu kekuatan inti sejak zaman Khalifah Abu Bakar. Prestasi terbesarnya pada zaman Umar bin Khathab, ketika dia bisa menundukkan kekuasaan Romawi yang waktu itu menjadi salah satu negara super power dunia bersama Kerajaan Persia.

Pasukan Amru bin Ash yang hanya 4.000 orang berhasil mengalahkan pasukan garis depan Romawi yang berada di kawasan sekitar Gaza sekarang. Setelah memperoleh bantuan pasukan 5.000 orang di bawah pimpinan Zubair, Amru bin Ash menyerang jantung pertahanan penguasa Romawi di benteng Babylon, Kairo. Dalam waktu sekitar tujuh bulan, kekuasaan Romawi yang dikawal pasukan yang berjumlah dua kali lipat itu pun runtuh.

Amru bin Ash membangun masjid di dekat kawasan benteng Romawi itu. Dia menamai kawasan ini sebagai Kota Al Fustat, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Islam pertama di Mesir. Pada 642 M itulah dia mulai membangun Mesir sebagai sebuah provinsi yang besar dan menyiarkan agama Islam dengan damai kepada masyarakat Mesir yang sebelumnya dijajah bangsa Romawi. Dia pun memindahkan ibu kota Mesir dari Alexandria ke Fustat, yang tiga abad kemudian menjadi Kota Kairo.

Di dekat Masjid Amru bin Ash berdiri beberapa gereja Kristen dan Sinagog milik orang Yahudi. Amru bin Ash tidak mengutak-atiknya. Dia memberikan keleluasaan beribadah kepada masing-masing penganut agama Samawi itu. Di antaranya Gereja St Sergius yang berdiri pada abad ke-3 M. Gereja itu dibangun di sebuah gua yang dulu pernah menjadi tempat singgah Nabi Isa dan Bunda Maryam dalam pelariannya ke Mesir saat dikejar-kejar Raja Herodes, penguasa Romawi di Palestina.

Di bekas benteng Romawi juga didirikan Gereja Babylon yang menjadi pusat perkembangan Kristen Koptik di Mesir. Gereja gantung tersebut dibangun di bagian atas tembok-tembok benteng pada abad ke-7 M. Saya sempat masuk ke dalamnya dan menikmati desain bangunannya. Arsitekturalnya perpaduan antara Romawi dan Arab. Banyak tulisan kaligrafi di dinding maupun di atas pintu-pintunya.

Menelusuri lorong-lorong bawah tanah di kawasan Kairo lama, kami juga menemukan sebuah sinagog. Sayang, ketika kami hendak masuk ke tempat ibadah orang Yahudi itu, pintu gerbangnya baru saja ditutup. Pada hari biasa, sinagog bisa dikunjungi masyarakat sampai pukul 4 sore. Tetapi, selama Ramadan, jam kunjung sinagog hanya sampai pukul 3 sore.

Sinagog ini dibangun pada abad ke-9 M dan kemudian direnovasi oleh seorang Rabbi Yahudi dari Yerusalem pada abad ke-12. Tempat peribadatan tersebut kemudian dinamai Ben Ezra Synagogue sesuai dengan nama sang Rabbi. Amru bin Ash memelihara semua itu sebagai bagian dari wilayah kekuasaan yang dipimpinnya.

Keberadaan masjid yang berdampingan dengan gereja dan sinagog itu menunjukkan hidup berdampingan dalam tatanan yang saling menghormati dalam kedamaian. Saling menolong dan melindungi kepentingan bersama dari ancaman luar yang menghancurkan. Sahabat Rasul itu tahu persis bahwa Islam memberikan kebebasan dalam beragama. Apalagi, ketiga agama samawi itu adalah agama yang dibawa oleh keluarga Nabi Ibrahim alaihissalam...

* * *

Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mendirikan sebuah cikal bakal negara di sana. Selain mendirikan masjid sebagai pusat dakwah dan perekat umat Islam, sang Nabi membuat perjanjian dengan masyarakat setempat yang sudah mapan lebih dulu. Perjanjian itu lantas dikenal sebagai Piagam Madinah.

Salah satu isi Piagam Madinah adalah memberikan jaminan keamanan bagi seluruh warga yang berbeda suku dan agama untuk menjalankan segala tradisi kebiasaannya. Termasuk kebebasan menjalankan agama masing-masing selama mereka ingin hidup berdampingan secara damai dalam negara yang sama. Konsep Piagam Madinah inilah yang kemudian menjadi tonggak sejarah bagi berdirinya negara-negara modern dalam semangat pluralisme yang saling menghormati.

''Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau (setidak-tidaknya) balaslah (serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu'' (QS. 4: 86). ''Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku'' (QS. 109: 6). (bersambung/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 31 AUGUST 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=152931

Tidak ada komentar:

Posting Komentar