Kamis, 09 September 2010

A. Mustofa Bisri: Perenungan di Akhir Ramadan

HARI-hari Ramadan telah kita lalui dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang galibnya lain dari hari-hari lain pada bulan-bulan lain. Mulai dini hari, kaum muslimin biasanya bersama-sama keluarga melakukan ''ritual'' santap sahur dan sore ngabuburit, ''membunuh waktu'' menunggu saat berbuka.

Lalu, ''ritual'' santap buka, kemudian beramai-ramai melaksanakan salat Tarawih dan tadarusan, sampai acara-acara seremonial buka bersama, tarling (Tarawih keliling), dan ceramah-ceramah keagamaan.

Kegiatan-kegiatan lain biasanya juga diupayakan dapat bernuansa ibadah, setidaknya dilabeli dengan label yang mengesankan keislaman. Misalnya, road show safari Ramadan, gelar takjil, konser seni dan dakwah, dan takbir akbar.

Yang mungkin agak tidak populer adalah kegiatan Ramadan model zaman kanjeng Nabi Muhammad SAW: iktikaf. Berdiam diri tafakur di rumah Tuhan. Bahkan, agaknya memang ''berdiam diri'' itu sudah merupakan sesuatu yang mewah pada zaman gaduh dan sibuk sekarang ini. Berdiam diri melakukan kontemplasi mungkin malah dianggap bukan kegiatan sama sekali.

Padahal, bulan suci Ramadan merupakan satu-satunya saat paling kondusif untuk melakukan perenungan. Bulan yang citra, gaya, dan nuansanya sama sekali berbeda dari sebelas bulan yang lain. Kalau bulan-bulan lain lebih terasa duniawi, bulan yang satu ini terasa benar ''ukhrawi''-nya, keakhiratannya. Bahkan, pengusaha-pengusaha pun dalam mencari keuntungan duniawi menemukan celah dalam kegiatan peribadatan bulan ini.

Boleh jadi, karena minimnya perenungan, kita sering terkecoh oleh diri kita sendiri. Kita sering keliru dalam merasa, salah dalam anggapan, hanya karena kegiatan-kegiatan rutin yang tidak sempat kita renungkan. Sikap atau kegiatan yang sudah berlangsung lama, karena tidak pernah sempat kita renungkan, umumnya kita anggap sudah benar dan karena itu kita langsungkan terus.

Padahal, bila kita mau menyempatkan diri merenung, kekeliruannya akan terbukti. Kita ambil contoh kecil: kegemaran kita bermain pengeras suara di masjid-masjid dan musala-musala. Tidak hanya azan yang kita lantunkan, tapi segala macam hal yang kita anggap syiar dan Islami kita kumandangkan ke seantero penjuru.

Agaknya, kita jarang merenungkan: apakah hal seperti itu wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram? Karena sudah berlangsung lama dan MUI tidak pernah berfatwa makruh atau haram, kita pun tidak perlu bersusah payah merenungkannya. Kita merasa sudah benar.

Karena sudah berlangsung lama dan tidak ada yang protes, kita pun tidak merasa perlu merenungkan apakah suara-suara itu mengganggu orang lain atau tidak. Apakah mereka yang tidak protes, meski terganggu, itu karena rela atau takut?

Imbauan untuk menghormati Ramadan bahkan sering disertai amar penutupan warung-warung. Misalnya lagi, karena sudah berlangsung setiap Ramadan, kita menganggapnya wajar. Padahal, dengan sedikit perenungan, kita segera tahu kejanggalannya. Contoh-contoh lain masih banyak tentang keliru merasa dan salah anggapan karena tiadanya perenungan ini.

Salah merasa dan beranggapan itu bisa berakibat fatal bila Allah tidak merahmati kita dengan mengilhamkan perlunya perenungan. Kita bisa merasa berbuat ibadah, padahal bukan. Kita merasa beramar makruf nahi mungkar, padahal sedang berbuat anarki. Sebaliknya, kita bisa menganggap sesuatu perbuatan sebagai amal duniawi semata, padahal sangat ukhrawi.

Wakil-wakil rakyat yang ngotot membangun gedung kantornya sedemikian megah dengan biaya dari rakyat sedemikian besar pastilah tidak sempat merenung tentang, misalnya, memadaikah kegunaan gedung dan relevansinya dengan tugas-tugas mereka serta besarnya biaya? Apalagi berpikir tentang betapa tersakitinya hati rakyat yang mereka wakili yang selama ini belum pernah merasakan nasibnya membaik karena mereka perjuangkan.

Kelompok yang dengan angkuh merasa paling benar dan paling mulia di sisi Allah hanya karena berpakaian mirip Rasulullah SAW dan imamnya fasih melafalkan satu-dua ayat, pastilah mereka tidak sempat sedikit merenung. Misalnya, bahwa wajah Rasulullah SAW yang pakaiannya mereka tiru itu senantiasa tersenyum dan sama sekali tidak sangar seperti mereka.

Bahwa pribadi Rasulullah SAW yang agamanya hendak mereka bela adalah pribadi agung yang sangat santun, beradab baik di hadapan Allah maupun di hadapan hamba-hamba-Nya. Pribadi yang tidak pernah melaknat dan menyakiti sesama. Bahkan, beliau bersabda dalam hadis sahih: ''Al-muslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi''. Muslim sejati adalah orang yang selalu menjaga agar lisan dan tangannya tidak melukai sesamanya.

Nah, apabila iktikaf dan tafakur kita kemarin-kemarin terasa kurang, kita masih punya waktu setidaknya untuk merenungkan Ramadan kita dan puasa kita bagi kepentingan memulai kehidupan -terutama kehidupan keberagamaan kita- yang baru, yang lebih islami, yang lebih samawi, yang lebih manusiawi, dan yang lebih beradab.

Akhirnya, saya sampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431. Kullu 'aamin wa Antum bikhair. Mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan dan kekhilafan saya. (*)

JAWA POS, 9 SEPTEMBER 2010
Source : http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=154582

Tidak ada komentar:

Posting Komentar