Jumat, 03 September 2010

Bergerak setelah 3.127 Tahun Jadi Mumi

SEJAK kemarin (2/9), kami menyimpang dari jalur Sungai Nil menuju Gurun Sinai untuk napak tilas kisah Nabi Musa. Dialah musuh besar Firaun yang diceritakan oleh agama-agama Ibrahim di dalam kitab Taurat, Injil, dan Alquran. Utusan Allah yang terlahir di zaman Ramses II ini sangat banyak diceritakan di dalam kitab suci sebagai ''petarung tangguh'' yang diutus Tuhan untuk menghentikan keganasan Firaun.

Sejak dari Abu Simbel di perbatasan Sudan sampai Kairo, sebenarnya tim ekspedisi sudah menempuh sekitar 85 persen panjang Sungai Nil. Tidak jauh lagi kami akan sampai di Alexandria sebagai muara sungai terpanjang di dunia itu. Jaraknya hanya tinggal 250 km. Tetapi, selama beberapa hari ke depan, kami sengaja tidak melanjutkan perjalanan menyusuri sungai ke arah muara, melainkan menyimpang ke timur menyeberang Teluk Suez terlebih dahulu.

Ada beberapa agenda yang ingin kami telusuri terkait dengan kisah eksodus Bani Israil dari Mesir. Itu berhubungan erat dengan berbagai situs Mesir kuno yang bercerita tentang Firaun di sepanjang Sungai Nil. Dengan mengembangkan penelusuran ini, saya berharap pembaca akan memperoleh gambaran lebih utuh tentang kisah Firaun v Nabi Musa.

Di manakah Musa dilahirkan? Di mana dia dibesarkan? Di mana pula dia melakukan penyeberangan saat dikejar oleh Firaun? Siapakah Firaun yang tenggelam di Laut Merah: Ramses II ataukah Firaun yang lain? Dan seterusnya, termasuk saya akan mendaki Gunung Sinai untuk merasakan suasana saat Nabi Musa menerima wahyu Taurat di Jabbal Musa.

Kami akan mengakhiri napak tilas kisah Musa ini di Kota Sharm El Sheikh, tempat Musa bertemu dengan manusia misterius, Khidr, yang sempat menjadi guru spiritualnya. Perjalanan menyusuri kawasan Sinai menempuh jarak lebih dari 1.000 km, sampai balik lagi ke lembah Sungai Nil di dekat delta untuk melanjutkan ekpedisi ke muaranya di laut Mediterania.

Tidak seperti biasanya yang bercerita secara deskriptif, setidak-tidaknya dalam dua tulisan ini (hari ini dan besok), saya akan memberikan sedikit analisis untuk menyambungkan cerita secara utuh tentang kisah Musa v Firaun. Selebihnya, saya akan menuangkan cerita perjalanan spiritual ini dalam bentuk buku yang insya Allah akan saya terbitkan bulan depan.

Saya sempat menyinggung keberadaan Musa dan Firaun ketika bercerita tentang Kota Fayoum. Kawasan subur itu pernah menjadi permukiman orang Yahudi alias Bani Israil sejak zaman Nabi Yusuf. Di sanalah istana Qarun berada. Di sekitar kawasan itu pula Nabi Musa dilahirkan.

Kalau kita lihat dalam peta Sungai Nil, kota tersebut ada sebelum Kota Memphis, yang kala itu sudah tidak menjadi ibu kota Kerajaan Mesir lagi. Ibu kota di zaman Ramses II sudah berpindah ke Luxor. Tetapi, Memphis masih menjadi kota metropolitan sampai ribuan tahun kemudian. Karena itu, wajar para raja memiliki istana musim panas di kawasan dekat delta Sungai Nil tersebut. Tak terkecuali Raja Ramses II. Tidak heran pula bila di Museum Memphis terdapat patung Ramses II dalam ukuran raksasa.

Saat Musa dilahirkan, Ramses II sudah berusia di atas 54 tahun. Dia sudah mengangkat dirinya sebagai Tuhan. Kalau kita telusuri sejarahnya, Ramses II diangkat sebagai Firaun pada usia 24 tahun. Dia sudah sepenuhnya mengendalikan Mesir dalam waktu dua puluh tahun pertama. Saat mengangkat dirinya sebagai Tuhan, kekuasaannya sudah berlangsung 30 tahun.

Setelah waktu itulah, Musa lahir dari rahim seorang wanita Bani Israil sebagai keturunan keempat dari Nabi Yakub. Musa sezaman dengan Qarun, familinya, yang bekerja pada Ramses II sebagai penjilat. Kelahiran Musa menggusarkan Firaun. Sebab, para penasihat spiritualnya mengatakan bahwa akan lahir bayi laki-laki dari kalangan Bani Israil yang kelak mengalahkan kekuasaan Firaun. Dia pun memerintahkan pembunuhan setiap bayi laki-laki dari Bani Israil (QS. 2: 49).

Tetapi, bayi Musa diselamatkan oleh Allah dengan cara yang sangat istimewa. Ibu Musa memperoleh ilham dari Allah untuk menghanyutkan bayinya di aliran Sungai Nil. Atas kehendak-Nya, bayi yang diletakkan di keranjang bayi itu akhirnya ''berlabuh'' di istana Firaun di Memphis. Saat itu, sangat mungkin Nefertari, istri yang paling dicintai Firaun, sedang berada di taman pinggir Sungai Nil. Dia melihat bayi lucu itu dan langsung jatuh hati kepadanya.

Maka, dia lalu mengambil bayi tersebut dari keranjangnya dan meminta Firaun tidak membunuhnya. Bahkan, justru memelihara bayi laki-laki berkulit putih yang jelas-jelas bukan dari kaum Firaun tersebut (QS. 28:9). Ramses II tidak mampu menolak permintaan sang istri tercinta. Apalagi Nefertari pernah kehilangan anak laki-laki, Amunherkhepseshef, yang meninggal saat masih remaja. Anak laki-laki itu semula digadang-gadang menjadi pangeran yang akan menduduki takhta kekuasaan Ramses II.

Selama tinggal di kerajaan Firaun, Musa terus mendapat perlindungan Allah. Bayi itu tidak mau disusui siapa pun. Dia hanya mau menyusu kepada ibu kandungnya yang berwajah Bani Israil. Maka, untuk memenuhi permintaan istri tercinta, Ramses menyelenggarakan sayembara mencari perempuan yang mampu mengasuh dan menyusui bayi itu. Akhirnya terpilihlah ibu Musa sebagai pengasuh yang menyusui dan memelihara Musa sampai masa kanak-kanaknya berakhir (QS. 28: 12).

Singkat cerita, Nabi Musa yang musuh besar Firaun itu sejak bayi dipelihara dan dibesarkan di dalam istana Firaun sendiri. Sampai suatu ketika, setelah menjadi pemuda, dia membunuh orang Qibthi (orang Mesir asli) yang sedang berkelahi dengan seorang pemuda Bani Israil. Firaun pun tidak mampu menahan diri untuk menghukum Musa. Dia geram kepada Musa, pemuda Bani Israil yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun tetapi tetap menunjukkan pembelaannya kepada Bani Israil yang dia benci.

Musa lari, meninggalkan Kota Memphis menuju negeri Madyan, di timur Mesir. Di sana, Musa diambil menantu oleh Nabi Syuaib sekaligus belajar agama kepadanya selama sepuluh tahun atau lebih (QS.28: 27). Menjelang usia empat puluh tahun, Musa bersama keluarganya meninggalkan negeri Madyan menuju Mesir. Di tengah perjalanan, di sekitar Gunung Sinai, Musa melihat api di sebuah bukit. Dia pun mendaki bukit itu. Ternyata, di bukit itulah dia menerima perintah dari Allah untuk menghentikan kesewenang-wenangan Firaun serta mendakwahkan agama Tauhid. Allah pun membekali Musa dengan beberapa mukjizat.

Sebelum kedatangannya kembali ke Mesir itulah, Firaun Ramses II meninggal dunia. Beberapa tahun sebelum kematiannya, Ramses II menderita sakit komplikasi yang menyiksanya. Kekuasaannya tidak lagi efektif sehingga kemudian diserahkan ke anaknya, Merneptah, yang sekaligus panglima perangnya. Ramses II meninggal dunia dalam usia 97 tahun dan dimakamkan di Lembah Raja. Sayang, makamnya dibobol pencuri harta Firaun. Keberadaan muminya sempat tidak jelas. Baru pada 1881, mumi Ramses II ditemukan para arkeolog di sekitar Lembah Raja untuk dipindahkan ke Museum Mesir di Kairo.

Yang menarik, kata para arkeolog, ketika kain kafan mumi itu dibuka, tangan kiri Ramses II bergerak terangkat dari posisi silang di depan dadanya. Dia lalu menunjukkan ekspresi terakhirnya saat meregang nyawa. Entah apa yang mengakibatkan tangan mumi itu bisa bergerak meski sudah lewat 3.127 tahun dari saat kematiannya. (bersambung/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 3 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=153462

Tidak ada komentar:

Posting Komentar