Senin, 20 Desember 2010

Pondok Ban Tan & Dr. Surin Pitsuwan

Sumber : http://ferizalramli.wordpress.com/excellent/
Oleh : Anies R. Baswedan

From: “anies baswedan” Date: 5 October 2010 6:06:26 PM AWST

Ya Nabi salam alaika
Ya Rasul salam alaika
Ya habibie salam alaika
Shalawatullah alaika

Sekitar 1,000 anak-anak menghampar di lapang rumput depan pondok. Lautan kerudung dan peci putih, melafalkan shalawat, khusuk dan menggema.

Suasana pondok Pesantren Ban Tan malam ini terasa unik. Pondok kecil ini dibangun di pedalaman Thailand Selatan. Utk mencapai-nya harus terbang dari Bangkok, jaraknya sekitar 750 km ke kota kecil Nakhon Si Thammarat lalu dari airport yang mungil itu, naik mobil kira2 satu jam. Masuk di tengah2 desa-desa dan perkampungan umat Budha, disitu berdiri Pondok Ban Tan. Dibangun awal 1900, dengan beberapa orang murid. Niatnya sederhana, menjaga aqidah umat Islam yg tersebar di kampung2 yang mayoritas penduduknya beragama Budha.

Malam itu, melihat wajah anak-anak pondok, seperti kita sedang menatap masa depan. Anak-anak yang dititipkan orang tua-nya untuk sekolah ke Pondok, untuk menjaga KeIslaman, untuk menjaga sejarah kehadiran Islam di kerajaan Budha ini. Di propinsi ini kehadirannya penuh nuansa damai. Sebuah tradisi yang harus dijaga terus.

Malam ini, setelah berliku perjalanannya, seakan jadi salah satu event puncak utk keluarga pengasuh pondok ini. Di awal tahun 1967 terjadi perdebatan panjang diantara para guru di Pondok ini. Anak tertua Haji Ismail, pemimpin pondok ini, jadi bahan perdebatan. Anak usia 17 tahun itu memenangkan bea-siswa AFS untuk sekolah SMA setahun di Amerika Serikat. Pondok Ban Tan seakan goyah. Tak terbayangkan bagi mereka, dari perkampungan Muslim yang kecil, jauh dari keramaian, dan di pedalaman Thailand di tahun 1960an, cucu tertua pendiri Pondok akan dikirimkan ke Amerika. Umumnya santri-santri cerdas dikirim melanjutkan sekolah ke Jawa atau Kedah atau Kelantan; jika ada dana mereka akan dikirim ke Makkah atau Mesir. Tapi Amerika ?!?; tidak pernah terlintas di benak mereka akan mengirim santri belajar ke Amerika. Saat itu para guru di pondok terpecah pandangannya: separoh takut anak ini akan berubah bila dikirim ke negeri kufar (istilah yang digunakan dalam perdebatan itu), mereka ti dak ingin kehilangan anak cerdas itu.

Setelah perdebatan panjang, Si Kakek, pendiri Pondok itu, mengatakan, “saya sudah didik cucu saya ini, saya percaya dia istiqomah dan saya ikhlas jika dia berangkat”. Ruang musyawarah di pondok yang tanpa listrik itu jadi senyap. Tidak ada yang berani melawan fatwa Sang Guru. Haji Ismail, sang ayah, mengangguk setuju. Tidak lama kemudian berangkatlah anak muda tadi ke Amerika.

Tahun demi tahun lewat. Dan dugaan guru-guru Pondok itu terjadi benar: anak itu tidak pernah kembali jadi guru atau jadi pengelola Pondok. Dia tidak meneruskan mengelola warisan kakek dan ayahnya itu. Dia pergi jauh. Anak muda itu terlempar ke orbit lain.

Malam ini anak yang dulu diperdebatkan itu pulang. Dia pulang bukan sebagai orang asing, dia pulang membawa kebanggaan untuk seluruh keluarga, seluruh pondok dan seluruh rakyat di propinsi kecil ini.

Dia pulang sebagai Sekretaris Jendral ASEAN. Pondok Ban Tan jadi terkenal, kampung halaman jadi perhatian dunia. Sebelumnya dia adalah Menteri Luar Negeri Thailand, muslim pertama yang jadi Menlu di Negara berpenduduk mayoritas Budha.

Namanya dikenal oleh dunia sebagai Surin Pitsuwan; dikampungnya dia dikenal sebagai Abdul Halim bin Ismail.

Malam ini Surin pulang kampung membawa teman dan koleganya. Sekarang seluruh bangunan Pondok ini nampak megah. Setiap bangunan adalah dukungan dari berbagai negara. Anak ini pulang dengan membawa dukungan dunia utk Pondok mungil di pedalaman ini. 10 orang adiknya (dari satu ayah-ibu) menjadi guru, meneruskan tradisi dakwah di kampung halamannya.

Saya menyaksikan bahwa sesungguhnya, Surin selalu “hadir” disini, dia membawa dunia. Dia menjadi jembatan lintas peradaban, dia jadi duta Muslim Thailand di dunia.

Dia tidak pernah hilang seperti diduga guru-gurunya. Dia masih persis seperti kata Kakeknya. Sejak pertama kali saya ngobrol dengan Surin Pitsuwan, 3 tahun lalu di Hanoi, tutur kata dan pikirannya seakan mengatakan: isyhadu bi ana muslimin.

Ramadhan kemarin, saat kita makan malam -Ifthar bersama- di Bangkok, Surin cerita tentang conference di Walailak University dan ingin undang ke Pondoknya awal Oktober. Saya jawab tidak bisa karena ada rencana acara di Bandung. Sesudah itu, dia kirim beberapa sms meyakinkan bahwa ke “Ban-Tan” lebih utama daripada ke “Ban-Dung”.

Malam ini, duduk di Masjid Al-Khalid, bersama ratusan santri, bersyukur rasanya. Merubah jadwal, dari ke Bandung jadi berangkat ke Ban Tan. Saya duduk sholat berjamaah disamping Surin, selesai sholat ratusan tangan mengulur, semua berebut salaman dengannya. Wajah takjub santri-santri itu tidak bisa disembunyikan, mereka semua seakan ingin bisa seperti Surin. Dia seakan jadi visualisasi nyata, dari mimpi-mimpi para santri di kampung kecil di pedalaman Thailand.

Malam itu, di pelataran Pondok Ban Tan dibuatkan panggung utk menyambut. Santri-santri bergantian naik panggung. Mereka ragakan kemahiran bercakap melayu, inggris dan arab. Sebagai puncak acara mereka tampilkan Leke Hulu (Dzikir Hulu). Tradisi tarikat yang sudah dijadikan seni panggung. Seluruh santri ikut berdzikir, gemuruhnya menggetarkan dada.

Besok paginya Syaikhul Islam Thailand, pemimpin Muslim tertinggi di Thailand khusus datang dari Sangklah, kota di sisi selatan, untuk sarapan pagi bersama di Pondoknya. Kita ngobrol panjang dan saya tanya asal keturunannya, karena garis wajahnya unik; dia jawab kakek saya dari Sumatera, tapi dia keturunan Hadramauth.

Hari itu saya bersyukur dan bersyukur. Saya katakan itu pada Surin bahwa ini perjalanan luar biasa. Tapi dia belum puas, Surin panggil salah satu alumni pondoknya (doktor ilmu management) untuk antarkan saya ke Masjid di kampung-kampung pesisir pantai. Surin ingin kenalkan dengan Ulama terkenal asal Minangkabau.

Setelah melewati kampung-kampung dan pasar yang sangat-sangat simpel, saya sampai di rumahnya yang sangat sederhana, di belakang Madrasah yg dipimpinnya. Kita berdiskusi tentang suasana disini, tentang Minang, dan tentang kemajuan. Lalu dia ambil bingkai-bingkai dari lemari, dia tunjukkan beberapa foto-foto orang tuanya, ayahnya dipaksa hijrah dari Maninjau di Ranah Minang karena perlawanan pada Belanda. Kira-kira 90 tahun yang lalu, dia sampai di Thailand Selatan dan jadi guru agama. Mengagumkan, anak-anak muda pemberani memang selalu jadi pilar kokohnya Dinul Islam. Mereka hadir dan hidup berdampingan penuh kedamaian.

Lengkap sudah perjalanan kali ini. Dalam satu rotasi ditemukan dengan komunitas yang kontras. Di Kuala Lumpur, berdialog dengan kalangan bisnis dan politik se ASEAN dengan suasana megah, di Thailand Selatan berdialog dengan kaum Muslim minoritas dengan suasana sederhana, sangat bersahaja.

Sekali lagi kita ditunjukan betapa hebatnya efek pendidikan. Beri fondasi aqidah, bekali dengan modal akhlaqul karimah lalu biarkan anak muda terbang mencari ilmu, membangun network, merajut masa depan. Anak muda tidak takut menyongsong masa depan. Kelak ia akan pulang, menjawab doa ibunya, menjawab doa ayahnya dengan membawa ilmu, membawa manfaat bagi kampung halamannya, bagi negerinya dan bagi umatnya.

Di airport kita berpisah. Saya pulang kampung ke Jakarta dan Surin berangkat ke Brussel, memimpin delegasi para kepala pemerintahan asean dalam Asean-European Summit.

Hari ini anak yang dulu ditakutkan hilang itu akan memimpin delegasi pemimpin se-Asia Tenggara. Dan, pada hari ini juga Ibunya masih tetap tinggal di pondok Ban Tan, berusia 90 tahun lebih, tetap mendoakan anaknya seperti saat melepasnya berangkat sekolah SMA ke Amerika dulu.

Barakallahu lakum . . . .

Just landed in Jakarta; Oct 4, 2010; 00.30 am.(Sekadar catatan pendek, sebuah perjalanan singkat. Ditulis di pesawat dalam perjalanan pulang ke Jakarta)



Selasa, 19 Oktober 2010

Soal Tilang

Mungkin di antara kalian ada yang masih ingat tayangan iklan di TV beberapa waktu silam yang menggambarkan ada seorang cewek sedang naik mobil dan akan putar balik. Dia sudah melihat ada rambu dilarang putar balik. Tapi setelah celingak celinguk kiri kanan depan belakang untuk memastikan tidak ada Polisi, barulah dia berani melanggar rambu itu. Eh, nggak tahunya secara tiba-tiba muncul seorang Polisi Lalu Lintas dari semak-semak dengan pakaian yang mirip dengan pohon. Sepintas polisi tersebut mirip semak belukar berjalan. Pritttt…

Polisi memintanya menepi, lalu pak polisi yang berkumis tebel dan bertambang serem itu tanya “gak lihat rambu ya mbak?”

“Lihat sih… tapi pak polisi yang gak terlihat” sambil cengar cengir.
Nah lo… Taat hanya kalo ada yang jaga. Tanya Kenapa….

Di kehidupan nyata, tak jarang kita menemui para Polisi khususnya dari Satuan Lalu Lintas yang suka sembunyi di semak2 dan muncul secara tiba-tiba untuk menghentikan kita saat kita terlihat melakukan pelanggaran. Baik pelanggaran jenis rambu lalu lintas ataupun markah jalan. Untuk lebih singkatnya, pelanggaran di atas kami sebut dengan garkum rambu dan garkum markah ( istilahnya para Polisi Lalu Lintas ). Garkum singkatan dari Pelanggaran Hukum.

Lho, kok ada hukumnya ? Yup, karena semua rambu2 dan markah jalan di jalan raya di buat dengan hukum sebagai payung yang melindungi tata cara pelaksanaanya di lapangan. Tepatnya UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Pembuatan markah dan rambu lalin selalu berpedoman teguh pada hal ini. So, para Polisi juga nggak bisa seenaknya melakukan kewenangannya di jalan raya. Mereka bisa dikenakan pasal lahgun wewenang oleh Polisinya Polisi ( Bid Propam ataupun Unit P3D, orang awam menyebutnya provost). Yup, semua memang ada tata caranya. Ada aturan main yang mengatur bagaimana seharusnya semua ini berjalan.

So, apa yang kalian lakukan seandainya itu menimpa kalian ?

Melarikan diri?
Pura2 gak tahu dan gak merasa bersalah?
atau memelas dan ngasih uang damai ?

Wohoho, yang terakhir jangan deh. Too risky, bisa di tangkap karena berusaha menyuap petugas. So, pilihan satu-satunya ( kalau menurut prosedur sih ) adalah Tilang.

Apa sih tilang itu ?
Tilang adalah singkatan dari Bukti Pelanggaran. Berbentuk seperti kertas berwarna merah ( umumnya yang kita dapat dari Polisi saat kita melakukan pelanggaran ) yang berisi isian berupa nama kita, no sim kita, jenis pelanggaran yang kita lakukan, tempat terjadinya tindak pelanggaran, tanggal dan waktu terjadinya pelanggaran, serta nama + pangkat Polisi yang memberikan selembar kertas berwarna merah / pink itu pada kita.

Semua Polisi Lalu Lintas berhak untuk menghentikan suatu kendaraan yang dianggap melakukan suatu tindak pelanggaran baik rambu2 lalin, markah jalan, maupun terlibat dalam suatu aksi kriminalitas untuk dilakukan pemeriksaan atas kendaraan+pengendara yang bersangkutan. Dan melakukan tindakan berupa pemberian sanksi berupa Tilang maupun penangkapan dan penahanan kepada pengendara beserta kendaraan yang di kemudikannya demi kelancaran proses penegakan hukum.

Form Tilang terdiri dari beberapa lembar yang berbeda warna.
Yang biasa kita terima adalah kertas berwarna merah / pink untuk kemudian di proses melalui pengadilan setempat dan membayar sejumlah denda kepada Negara sebagai sanksi atas kelalaian kita melakukan pelanggaran Lalu Lintas. Waduh, capek dan nggak ada waktu ke Pengadilan nih… Nggak salah sebagian besar dari kita selalu memilih opsi memberikan Uang Damai kepada petugas yang bersangkutan karena alasan klasik tsb.
Nah, tahukah kalian kalau selain form tilang warna merah, kita bisa juga mendapatkan form warna biru ? Lho… perasaan dari dulu kena tilang nggak pernah dikasih form warna biru deh.

BEDA FORM TILANG WARNA MERAH DAN BIRU
Form tilang yang di serahkan pada kita sebagai bukti bahwa kita telah melakukan pelanggaran berlalu lintas ( juga berfungsi sebagai undangan untuk datang ke Pengadilan buat ngebayar denda + ngambil SIM atau STNK kita yang di tahan pak Polisi sekaligus sebagai Tanda Terima bahwa SIM atau STNK kita telah di sita oleh Pak Polisi ) sebenarnya ada dua warna. Satu berwarna merah dan lainnya berwarna biru.

Form Tilang berwarna merah diberikan kepada kita saat kita melakukan pelanggaran dalam berlalu lintas tapi kita bersikeras tidak mau mengakui kesalahan kita.
Sedangkan Form Tilang warna biru diberikan kepada kita saat kita melakukan pelanggaran dalam berlalu lintas tapi kita tahu, sadar dan bersedia mengakui kesalahan kita.
Karena berbeda warna, berbeda pula proses hukumnya.

Form Tilang warna merah mengharuskan kita datang ke Pengadilan setempat untuk membayar sejumlah denda sesuai dengan jenis pelanggaran yang kita buat. Setelah membayar sejumlah denda, barulah kita mendapatkan SIM ataupun STNK kita kembali yang tadinya di Sita ama Pak Polisi karena kita melakukan pelanggaran. Nah, karena kita nggak merasa bersalah, kita berhak untuk melakukan bantahan2 di pengadilan sebagai upaya pembelaan diri kita. So, apabila tidak terbukti bersalah gimana ? SIM ataupun STNK kita yang di sita ama Pak Polisi akan di kembalikan kepada kita dan kita dibebaskan dari denda sepeserpun. Tapi kalau terbukti bersalah gimana ? Ya udah, bayar aja tuh denda dan SIM atau STNK kita yang disita ama Pak Polisi akan langsung di kembalikan lagi ke kita begitu kita selesai melunasi dendanya. Namun pada penerapannya seringkali kita hanya melakukan pembayaran saja tanpa ada upaya pembelaan.

Form Tilang warna biru tetap mengharuskan kita membayar denda tapi tidak ke pengadilan, melainkan ke Bank BNI atau BRI terdekat. Ntar setelah membayar sejumlah denda pada Bank tsb, kita akan menerima resi sebagai bukti pelunasan pembayaran denda yang akan kita tukarkan dengan SIM ataupun STNK kita yang di sita oleh Pak Polisi tadi. Namun biasanya Pak Polisinya kan keburu pergi ( tiap polisi lalu lintas punya jadwal rotasi pos tiap beberapa jam ), maka kita bisa ambil tuh SIM atau STNK kita pada Polsek yang ada di wilayah kita kena Tilang. Biasanya sih di Form Birunya di tulis nama dan alamat Polseknya. Atau jika kita bayarnya cepat, bisa langsung di ambil di tempat dimana kita kena tilang tadi ( pada Polisi yang sama tentunya ).
Contoh : kalian kena tilang di Layang Mayangkara depan Royal Plaza, Surabaya ( para Polisi menyebutnya Pos Layang Selatan ) karena melanggar markah jalan. Maka jika diberi form warna biru kita harus ngambil ke Polsek Wonokromo karena wilayah dimana kita kena tilang masuk dalam wilayah hukum Polsek Wonokromo.
Trus, kalau nggak di kasih form warna biru gimana dunk ?

MINTA AJA !!!

Itu memang hak kita jika KITA TAHU AKAN KESALAHAN KITA DAN MENGAKUI JENIS PELANGGARAN YANG KITA LAKUKAN.
Kalau tidak, jangan coba2 deh…
Karena hampir sebagian besar polisi lalu lintas bakal marah kalau kalian meminta form biru tapi di awal2 kalian tidak tahu dan tidak mau mengakui kesalahan yang kalian lakukan.

Form biru tidak berlaku jika…
saat itu sedang diadakan giat 21 ( istilah polisi untuk Razia atau Operasi kelengkapan Surat2 kendaraan Bermotor / handak / maupun multisasaran ).
Jadi ada benarnya juga jika tuh Polisi bilang bahwa Form Biru tidak berlaku saat diadakan Razia / Operasi. Namun jangan2 tuh Polisi juga ngawur ( untuk nutupin kesalahannya ), karena dalam penyelenggaraan suatu Razia atau Operasi,harus ada seorang polisi yang bertugas sebagai Padal ( Perwira Pengendali ) dengan pangkat minimal aiptu. Sang Padal ini bertanggung jawab langsung kepada Puskodalops ( Pusat Komando Pengendalian & Operasional ) ataupun kepada Kasatlantas wilayah tempat dia berdinas. Selain itu dalam sebuah razia atau operasi harus ada Surat Keterangan Pelaksanaan Kegiatan dari komandan yang bersangkutan ( dalam hal ini Bapak Kasatlantas ataupun Wakasatlantas ) yang berisi : Tempat, hari, tanggal, jam, durasi pelaksanaan, target pelaksanaan operasi, penanggungjawab operasi ( nama sang Padal ), daftar nama anggota yang melaksanakan operasi pada hari itu, dan yang memberi ijin pelaksanaan operasi tersebut.

Kalau di Lalu Lintas sih namanya Operasi Zebra ( nggak pakai Cross lho… ).
Kisah diatas merupakan cerita dari teman SD penulis yang sekarang bertugas di Kepolisian. Identitas kami rahasiakan karena atas permintaan yang bersangkutan. Semoga Allah membalas kebaikannya.

Dari Milis sebelah.

Senin, 18 Oktober 2010

Bayi Ini Dibekukan Sampai Mati Agar Selamat

Pembuluh darah yang mengalir ke jantungnya terhubung dengan cara yang salah.
VIVANEWS.COM, SENIN, 18 OKTOBER 2010, 06:27 WIB

VIVAnews - Bayi bernama Samaa Zohir baru berusia sebulan saat dokter memutuskan ia harus dioperasi, jika tidak akibatnya bisa fatal: maut.

Sudah sejak lahir, kondisi Samaa abnormal. Pembuluh darah yang mengalir ke jantungnya terhubung dengan cara yang salah. Harusnya, pembuluh darah itu membawa darah beroksigen dari paru-paru ke sisi kiri jantung. Yang terjadi, justru sebaliknya.

Namun, mengoperasi jantung bayi seukuran lebih kecil dari bola golf jelas tantangan besar untuk para dokter dari Great Ormond Street Hospital, London. Akhirnya sebuah terobosan revolusioner diputuskan: bayi ini dibekukan sampai mati.

Samaa dibuat mati suri. Caranya, dokter meletakkan kantung berisi es di sekeliling kepala bayi itu--darahnya didinginkan dari suhu normal, 37 derajat Celcius, menjadi 18 derajat menggunakan mesin bypass jantung dan paru-paru.

Tak hanya itu, para dokter nekat itu juga menghentikan detak jantungnya dengan cara menyuntikkan obat dan mematikan mesin bypass. Di titik ini, secara klinis, bayi Samaa telah meninggal dunia. Tubuhnya hampir sepenuhnya kehabisan darah.

Sementara itu, ahli bedah kardiotoraks Tain-Yen Hsia dan timnya harus bekerja melawan waktu. Jendela keselamatan maksimum (maximum window of safety) adalah 50 menit--sebelum jantung orok ini harus di-restart untuk mencegah kerusakan pada otak dan organ dalam.

Untungnya, Samaa tak harus menunggu 50 menit untuk hidup kembali. Dokter berhasil membawanya kembali ke dunia dalam waktu 23 menit.

Setelah mesin dihidupkan, darah hangat langsung terpompa dan mengembalikan suhu tubuhnya ke titik normal, 37 derajat Celcius. Jantung mungil itu pun kembali berdetak.

Mengapa Samaa harus dibekukan? Menurut Dokter Hsia, tim medis harus melakukan operasi mikro. Sebab, mereka berurusan dengan pembuluh darah yang setipis kertas beras (rice paper). Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah membekukan tubuh dan menghentikan sirkulasi darah agar pasien masuk ke fase hipothermia.
"Ini seperti mencemplungkan bayi ke dalam seember air es. Saat menghentikan jantung, kami harus melakukan operasi secepatnya dengan tingkat presisi tinggi," katanya. "Tidak ada ruang melakukan kesalahan sekecil apapun."

***
Lima tahun setelah operasi yang dramatis, Samaa telah sembuh total. Satu-satunya bekas operasi yang dimiliki bayi asal Finchley, London Utara ini, adalah bekas luka di dadanya. Ibunya, Roosina Ahmed (30) dengan haru menceritakan saat-saat terberat dalam hidupnya.

"Saat pertama anakku membuka matanya, tak terkira bahagia yang saya rasakan. Bayangkan, selama 20 menit ia terbaring dengan tubuh dingin, tanpa kehidupan," kata Roosina seperti dimuat Daily Mail, Minggu, 17 Oktober 2010.

Perubahan drastis juga dialami Samaa pasca operasi. Jika sebelumnya ia bayi yang sangat lemah, bahkan untuk menangis sekalipun, kini dia gembul makan dan bermain tak kenal lelah. (sj)

Sumber : http://teknologi.vivanews.com/news/read/183402-bayi-ini-dibekukan-sampai-mati-agar-selamat

Selasa, 05 Oktober 2010

Kisah Kyai Kampung Lawan Santri Liberal

Inilah kisah kiai kampung. Kebetulan kiai kampung ini menjadi imam musholla dan sekaligus pengurus ranting NU di desanya. Suatu ketika didatangi seorang tamu, mengaku santri liberal, karena lulusan pesantren modern dan pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Tamu itu begitu PD (Percaya Diri), karena merasa mendapat legitimasi akademik, plus telah belajar Islam di tempat asalnya. Sedang yang dihadapi hanya kiai kampung, yang lulusan pesantren salaf.

Tentu saja, tujuan utama tamu itu mendatangi kiai untuk mengajak debat dan berdiskusi seputar persoalan keagamaan kiai. Santri liberal ini langsung menyerang sang kiai: “Sudahlah Kiai tinggalkan kitab-kitab kuning (turats) itu, karena itu hanya karangan ulama kok. Kembali saja kepada al-Qur’an dan hadits,” ujar santri itu dengan nada menantang. Belum sempat menjawab, kiai kampung itu dicecar dengan pertanyaan berikutnya. “Mengapa kiai kalau dzikir kok dengan suara keras dan pakai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan segala. Kan itu semua tidak pernah terjadi pada jaman nabi dan berarti itu perbuatan bid’ah,” kilahnya dengan nada yakin dan semangat.

Mendapat ceceran pertanyaan, kiai kampung tak langsung reaksioner. Malah sang kiai mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak langsung menanggapi. Malah kiai itu menyuruh anaknya mengambil termos dan gelas.

Kiai tersebut kemudian mempersilahkan minum, tamu tersebut kemudian menuangkan air ke dalam gelas. Lalu kiai bertanya: “Kok tidak langsung diminum dari termos saja. Mengapa dituang ke gelas dulu?,” tanya kiai santai. Kemudian tamu itu menjawab: Ya ini agar lebih mudah minumnya kiai,” jawab santri liberal ini. Kiai pun memberi penjelasan: “Itulah jawabannya mengapa kami tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits. Kami menggunakan kitab-kitab kuning yang mu’tabar, karena kami mengetahui bahwa kitab-kitab mu’tabarah adalah diambil dari al-Qur’an dan hadits, sehingga kami yang awam ini lebih gampang mengamalkan wahyu, sebagaimana apa yang engkau lakukan menggunakan gelas agar lebih mudah minumnya, bukankah begitu?”. Tamu tersebut terdiam tak berkutik.

Kemudian kiai balik bertanya: “Apakah adik hafal al-Qur’an dan sejauhmana pemahaman adik tentang al-Qur’an? Berapa ribu adik hafal hadits? Kalau dibandingkan dengan ‘Imam Syafi’iy siapa yang lebih alim?” Santri liberal ini menjawab: Ya tentu ‘Imam Syafi’iy kiai sebab beliau sejak kecil telah hafal al-Qur’an, beliau juga banyak mengerti dan hafal ribuan hadits, bahkan umur 17 beliau telah menjadi guru besar dan mufti,” jawab santri liberal. Kiai menimpali: “Itulah sebabnya mengapa saya harus bermadzhab pada ‘Imam Syafi’iy, karena saya percaya pemahaman Imam Syafi’iy tentang al-Qur’an dan hadits jauh lebih mendalam dibanding kita, bukankah begitu?,” tanya kiai. “Ya kiai,” jawab santri liberal.

Kiai kemudian bertanya kepada tamunya tersebut: “Terus selama ini orang-orang awam tatacara ibadahnya mengikuti siapa jika menolak madzhab, sedangkan mereka banyak yang tidak bisa membaca al-Qur’an apalagi memahami?,” tanya kiai. Sang santri liberal menjawab: “Kan ada lembaga majelis yang memberi fatwa yang mengeluarkan hukum-hukum dan masyarakat awam mengikuti keputusan tersebut,” jelas santri liberal.

Kemudian kiai bertanya balik: “Kira-kira menurut adik lebih alim mana anggota majelis fatwa tersebut dengan Imam Syafi’iy ya?.”. Jawab santri: “Ya tentu alim Imam Syafi’iy kiai,” jawabnya singkat. Kiai kembali menjawab: “Itulah sebabnya kami bermadzhab ‘Imam Syafi’iy dan tidak langsung mengambil dari al-Qur’an dan hadits,”.” Oh begitu masuk akal juga ya kiai!!,” jawab santri liberal ini.

Tamu yang lulusan Timur Tengah itu setelah tidak berkutik dengan kiai kampung, akhirnya minta ijin untuk pulang dan kiai itu mengantarkan sampai pintu pagar.

(Mukhlas Syarkun)
Sumber : Majalah Risalah NU no.3,
http://www.facebook.com/group.php?gid=316498805206

Kamis, 16 September 2010

10 Filosofi Hidup Orang Jawa

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang mempunyai banyak filosofi untuk menjalani kehidupan agar seimbang dan berjalan dengan baik, berikut ini adalah 10 Filosofi Hidup orang Jawa yang bisa kita jadikan pelajaran dan pegangan :
Urip Iku Urup
(Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik)

Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).

Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
(segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar)

Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha
(Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan,kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan)

Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
(Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).

Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman
(Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah ngambeg, jangan manja).

Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).

Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka
(Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).

Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
(Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).

Aja Adigang, Adigung, Adiguna
(Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti)

Moga bisa bermanfaat dan bisa jadi pegangan bagi kita semua untuk menjalani hidup dengan lebih baik.

Source : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5299403

Kamis, 09 September 2010

A. Mustofa Bisri: Perenungan di Akhir Ramadan

HARI-hari Ramadan telah kita lalui dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang galibnya lain dari hari-hari lain pada bulan-bulan lain. Mulai dini hari, kaum muslimin biasanya bersama-sama keluarga melakukan ''ritual'' santap sahur dan sore ngabuburit, ''membunuh waktu'' menunggu saat berbuka.

Lalu, ''ritual'' santap buka, kemudian beramai-ramai melaksanakan salat Tarawih dan tadarusan, sampai acara-acara seremonial buka bersama, tarling (Tarawih keliling), dan ceramah-ceramah keagamaan.

Kegiatan-kegiatan lain biasanya juga diupayakan dapat bernuansa ibadah, setidaknya dilabeli dengan label yang mengesankan keislaman. Misalnya, road show safari Ramadan, gelar takjil, konser seni dan dakwah, dan takbir akbar.

Yang mungkin agak tidak populer adalah kegiatan Ramadan model zaman kanjeng Nabi Muhammad SAW: iktikaf. Berdiam diri tafakur di rumah Tuhan. Bahkan, agaknya memang ''berdiam diri'' itu sudah merupakan sesuatu yang mewah pada zaman gaduh dan sibuk sekarang ini. Berdiam diri melakukan kontemplasi mungkin malah dianggap bukan kegiatan sama sekali.

Padahal, bulan suci Ramadan merupakan satu-satunya saat paling kondusif untuk melakukan perenungan. Bulan yang citra, gaya, dan nuansanya sama sekali berbeda dari sebelas bulan yang lain. Kalau bulan-bulan lain lebih terasa duniawi, bulan yang satu ini terasa benar ''ukhrawi''-nya, keakhiratannya. Bahkan, pengusaha-pengusaha pun dalam mencari keuntungan duniawi menemukan celah dalam kegiatan peribadatan bulan ini.

Boleh jadi, karena minimnya perenungan, kita sering terkecoh oleh diri kita sendiri. Kita sering keliru dalam merasa, salah dalam anggapan, hanya karena kegiatan-kegiatan rutin yang tidak sempat kita renungkan. Sikap atau kegiatan yang sudah berlangsung lama, karena tidak pernah sempat kita renungkan, umumnya kita anggap sudah benar dan karena itu kita langsungkan terus.

Padahal, bila kita mau menyempatkan diri merenung, kekeliruannya akan terbukti. Kita ambil contoh kecil: kegemaran kita bermain pengeras suara di masjid-masjid dan musala-musala. Tidak hanya azan yang kita lantunkan, tapi segala macam hal yang kita anggap syiar dan Islami kita kumandangkan ke seantero penjuru.

Agaknya, kita jarang merenungkan: apakah hal seperti itu wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram? Karena sudah berlangsung lama dan MUI tidak pernah berfatwa makruh atau haram, kita pun tidak perlu bersusah payah merenungkannya. Kita merasa sudah benar.

Karena sudah berlangsung lama dan tidak ada yang protes, kita pun tidak merasa perlu merenungkan apakah suara-suara itu mengganggu orang lain atau tidak. Apakah mereka yang tidak protes, meski terganggu, itu karena rela atau takut?

Imbauan untuk menghormati Ramadan bahkan sering disertai amar penutupan warung-warung. Misalnya lagi, karena sudah berlangsung setiap Ramadan, kita menganggapnya wajar. Padahal, dengan sedikit perenungan, kita segera tahu kejanggalannya. Contoh-contoh lain masih banyak tentang keliru merasa dan salah anggapan karena tiadanya perenungan ini.

Salah merasa dan beranggapan itu bisa berakibat fatal bila Allah tidak merahmati kita dengan mengilhamkan perlunya perenungan. Kita bisa merasa berbuat ibadah, padahal bukan. Kita merasa beramar makruf nahi mungkar, padahal sedang berbuat anarki. Sebaliknya, kita bisa menganggap sesuatu perbuatan sebagai amal duniawi semata, padahal sangat ukhrawi.

Wakil-wakil rakyat yang ngotot membangun gedung kantornya sedemikian megah dengan biaya dari rakyat sedemikian besar pastilah tidak sempat merenung tentang, misalnya, memadaikah kegunaan gedung dan relevansinya dengan tugas-tugas mereka serta besarnya biaya? Apalagi berpikir tentang betapa tersakitinya hati rakyat yang mereka wakili yang selama ini belum pernah merasakan nasibnya membaik karena mereka perjuangkan.

Kelompok yang dengan angkuh merasa paling benar dan paling mulia di sisi Allah hanya karena berpakaian mirip Rasulullah SAW dan imamnya fasih melafalkan satu-dua ayat, pastilah mereka tidak sempat sedikit merenung. Misalnya, bahwa wajah Rasulullah SAW yang pakaiannya mereka tiru itu senantiasa tersenyum dan sama sekali tidak sangar seperti mereka.

Bahwa pribadi Rasulullah SAW yang agamanya hendak mereka bela adalah pribadi agung yang sangat santun, beradab baik di hadapan Allah maupun di hadapan hamba-hamba-Nya. Pribadi yang tidak pernah melaknat dan menyakiti sesama. Bahkan, beliau bersabda dalam hadis sahih: ''Al-muslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi''. Muslim sejati adalah orang yang selalu menjaga agar lisan dan tangannya tidak melukai sesamanya.

Nah, apabila iktikaf dan tafakur kita kemarin-kemarin terasa kurang, kita masih punya waktu setidaknya untuk merenungkan Ramadan kita dan puasa kita bagi kepentingan memulai kehidupan -terutama kehidupan keberagamaan kita- yang baru, yang lebih islami, yang lebih samawi, yang lebih manusiawi, dan yang lebih beradab.

Akhirnya, saya sampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431. Kullu 'aamin wa Antum bikhair. Mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan dan kekhilafan saya. (*)

JAWA POS, 9 SEPTEMBER 2010
Source : http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=154582

Lebaran di Kairo, Didaulat Khotbah Idul Fitri

ALHAMDULILLAHI rabbilalamin. Akhirnya, selesailah ekspedisi spiritual Jawa Pos Jelajah Sungai Nil. Dari tachometer mobil yang kami gunakan selama sebulan, kami tahu bahwa ekspedisi ini telah menyusuri jarak 4.798 km, saat sampai di Alexandria. Jarak itu kami tempuh sejak berangkat dari Kairo ke Abu Simbel, lantas menyusuri Sungai Nil, menuju muara, dan meneruskan perjalanan ke Gurun Sinai. Maka, sesampai di Kairo nanti, perjalanan kami telah menempuh jarak lebih dari 5.000 km.

Kami serasa baru keluar dari mimpi panjang berburu hikmah ke masa silam sambil beriktikaf Ramadan sepanjang bulan. Kini kami bersiap menerapkan segala hikmah itu untuk menghadapi realitas kehidupan. Tepatnya, setelah belajar dari berbagai peristiwa di sekitar, sebagaimana disitir Alquran: Banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lewati, sayang mereka tidak menghiraukannya (QS 12:105).

Lega rasanya bisa menuntaskan tafakur panjang ini. Berpuluh hikmah kami dapat selama bulan suci yang memang penuh hikmah ini. Ramadan benar-benar bulan membaca dan bertafakur bagi umat Islam. Meskipun, tidak sedikit yang justru menjadikan Ramadan sebagai bulan menurunnya produktivitas. Padahal, mestinya Ramadan jadi ajang untuk berlatih meningkatkan produktivitas.

Ada sebuah pemahaman yang perlu dikaji ulang tentang latar belakang turunnya perintah berpuasa Ramadan. Kebanyakan di antara kita berpendapat bahwa perintah berpuasa Ramadan turun karena dua alasan. Yakni, supaya menjadi sehat dan lebih bertakwa. Saya rasa, itu kurang tepat.

Sesungguhnya, kalau kita lihat redaksinya, dua hal tersebut bukan penyebab turunnya perintah berpuasa, melainkan akibat. Yakni, agar sehat dan bertakwa. Kata "agar" tentu saja menunjukkan dua hal tersebut sebagai akibat puasa. Barang siapa berpuasa dengan baik, akibatnya dia memperoleh kualitas hidup yang lebih sehat dan berperilaku lebih terkendali -bertakwa.

Penyebab turunnya perintah puasa Ramadan ternyata dikaitkan oleh Allah dengan satu peristiwa penting dalam bulan suci itu. Penjelasannya ada dalam QS 2:185. Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia... Karena itu, barang siapa di antara kalian berada di bulan itu, hendaklah dia berpuasa di dalamnya...

Jadi, perintah berpuasa kala Ramadan sebenarnya disebabkan turunnya Alquran sebagai petunjuk kehidupan. Maka, umat Islam diperintahkan berpuasa. Untuk apa? Supaya umat Islam mempelajari banyak hal dalam kitab penuh hikmah itu sambil menyucikan diri, kemudian memperoleh petunjuk. Sebab, kandungan Alquran memang hanya bisa dipahami dengan baik oleh orang-orang yang berproses menyucikan diri. Di antaranya, para pelaku puasa dalam arti yang sesungguhnya.

Maka, sungguh salah besar orang yang berpuasa tanpa mengkaji ayat-ayat Alquran serta hanya bertahan untuk sekadar tidak makan dan minum atau mencegah diri dari hal-hal yang membatalkannya sampai matahari tenggelam. Ramadan adalah bulan produktif yang disediakan oleh Allah untuk belajar dan berkarya. Dengan begitu, diharapkan kita memperoleh hikmah dari ilmu-ilmu Allah yang dihamparkan di sekitar kita.

Hasilnya, keluar dari Ramadan, kita menjadi orang yang lebih bertakwa: terkendali dan bijaksana. Itulah alasan di akhir Ramadan Allah menurunkan Lailatul Qadar. Kaitannya menjadi sangat jelas. Perintah puasa disebabkan turunnya Alquran. Karena itu, orang-orang yang berpuasa dengan baik akan memperoleh hikmah Alquran pada akhir puasa. Tepatnya, pada suatu malam yang mulia dan penuh hikmah.

Allah menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang mendalam) kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa yang dianugerahi al hikmah, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Hanya orang-orang berakal yang dapat mengambil pelajaran (QS 2:269).

Kami bersyukur, dalam Ramadan ini kami bisa belajar banyak dari berbagai peristiwa yang terekam di sepanjang Sungai Nil. Sebuah drama panjang selama ribuan tahun yang Allah abadikan dalam berbagai artefak sejarah yang sangat berharga. Juga, dalam kitab-kitab suci. Semua itu dihamparkan untuk menjadi pelajaran dan bahan kajian agar generasi kemudian menjadi lebih baik.

Sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah dan jauhilah yang selain Dia." Maka, di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya yang telah pasti kesesatan baginya. Maka, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang tidak mempercayai (QS 16:36).

Itu di antara berita-berita penting tentang yang gaib, yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka, bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik ada bagi orang-orang yang bertakwa (QS 11:49).

Akhirnya, saya mengucapkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah, Sang Maha Berilmu, atas segala karunia dan rahmat-Nya. Mudah-mudahan Ramadan kali ini adalah Ramadan yang bertabur hikmah, yang bisa meningkatkan amal ibadah kita dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Jawa Pos yang telah memberikan ruang untuk kajian Ramadan bagi umat yang haus hikmah. Juga, anggota tim Ekspedisi Sungai Nil. Terima kasih atas kerja keras dan ketulusannya menggali hikmah bersama. Saya tidak tahu, apakah Ramadan tahun depan kita bisa bertemu lagi untuk belajar hikmah seperti ini. Allahu a'lam...

Besok saya merayakan Idul Fitri bersama masyarakat Indonesia di Kairo. Ribuan orang Indonesia dijadwalkan beramah tamah di Masjid As Salam, Hay el Ashir, atas undangan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo. Sebelum itu, masyarakat Indonesia dan duta besar RI beserta seluruh staf menghelat salat Id. Saya didaulat menjadi khatib.

Mudah-mudahan Allah tetap memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada kita semua. Keluar dari Ramadan, semoga kita menjadi orang yang lebih bertakwa.

Selamat Idul Fitri 1431 H. Kami mohon maaf lahir dan batin. (habis/c11/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 9 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=showpage&kat=1&subkat=53

Rabu, 08 September 2010

Mencegat Lailatul Qadar di Tepi Laut Mediterania

SHARM El Sheikh adalah kota terakhir di Gurun Sinai yang kami kunjungi. Dari kota di tepi Laut Merah itu, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pantai Teluk Suez yang mengarah ke terowongan penyeberangan kembali. Jaraknya sekitar 500 km. Memasuki benua Afrika, kami mengarah ke delta Sungai Nil, dan menyusurinya sampai ke muara di Kota Alexandria.

Sebenarnya, di bagian delta, Sungai Nil terpecah menjadi beberapa cabang yang menuju ke muara. Salah satunya mengarah ke Alexandria. Sedangkan muara utamanya berada di Kota Dumyat dan Kota Rashid. Semua berakhir di Laut Mediterania.

Karena keterbatasan waktu yang ada, kami hanya memilih salah satu cabang, yakni ke kota yang paling besar dan paling banyak menyimpan sejarah: Alexandria. Inilah kota yang pernah menjadi ibu kota Mesir selama 1.000 tahun di zaman Yunani-Romawi.

Alasan lain mengapa kami memilih Alexandria sebagai terminal terakhir, karena kota ini memiliki kadar spiritual yang cukup tinggi bagi para pencari ''Kebenaran Tunggal''. Di antaranya, di sana terdapat masjid seorang guru sufi yang sangat terkenal, yaitu Abul Abbas al Mursyi. Masjid, yang kemudian menjadi makamnya itu, adalah kompleks makam 12 wali yang juga murid-muridnya. Kompleks itu menjadi salah satu tujuan utama para wisatawan yang datang ke Alexandria.

Di Alexandria juga terdapat makam ''orang biasa'' yang namanya disebut-sebut di dalam Alquran. Dialah Luqman el Hakim. Orang bijak yang tidak disebut sebagai nabi itu nasihat-nasihatnya menyentuh sanubari dan sangat mendalam secara spiritual. Bahkan, namanya lantas diabadikan sebagai nama surat ke-31 dalam Alquran: Surat Luqman. Sayang, ketika kami menziarahinya, kompleks makamnya sedang direnovasi dan ditutup untuk sementara.

Kami ingin menghabiskan sisa hari ekspedisi spiritual Jawa Pos Jelajah Sungai Nil ini di Alexandrea. Berada di sebuah tempat bersejarah yang mengandung nilai-nilai spiritual bagi para pencari Tuhan. Tidak berada di samping makam para pelaku sufisme itu, melainkan bertafakur di muara Sungai Nil yang menjadi saksi bisu atas berjalannya sejarah masa lalu dengan segala hikmahnya.

Ketika berada di Masjid Abbas al Mursyi, saya sempat menyaksikan para pelaku tarekat melakukan ritual ibadah khasnya. Puluhan orang berkerumun dalam tarian sufi. Sambil menari dan bertepuk, mereka melantunkan puji-pujian: ya hu... ya hu... ya hu... (wahai Dia ... wahai Dia... wahai Dia), sambil menggelorakan Asmaaul Husna. Tak kurang dari lima kelompok aliran tarekat yang siang itu berkumpul membentuk halaqah masing-masing di masjid tepi pantai itu.

Malamnya, di masjid berbeda, saya menyaksikan ribuan orang melakukan salat tahajud. Jamaahnya membeludak, menimbulkan kemacetan lalu lintas di depan Masjid Al Qaid Ibrahim, sampai menjelang waktu sahur. Mereka meningkatkan ibadah di sepuluh malam terakhir untuk menyambut datangnya puncak Ramadan: Lailatul Qadar.

Di beberapa masjid lain, saya juga melihat para pelaku iktikaf yang terus-menerus membaca kitab suci Alquran sepanjang hari hingga malam. Saya memilih cara saya tersendiri untuk bertafakur menjelang berakhirnya Ramadan. Bulan suci yang penuh hikmah, bagi siapa yang berniat mencarinya.

Saya merenung di teras kamar lantai empat penginapan kami yang persis menghadap ke Laut Mediterania. Beratap langit bertabur bintang. Menghadap ke kegelapan laut yang mahaluas dengan debur ombak yang terdengar sayup-sayup. Sesekali terdengar teriakan orang di jalan dan suara klakson mobil yang terjebak kemacetan di bawah sana. Sementara itu, di masjid-masjid mengalun suara pujian dan ayat-ayat Alquran yang dilantunkan dalam salat-salat yang panjang.

Saya ingin merenungi Ramadan kali ini dalam realitas kehidupan tanpa harus mengasingkan diri dan menyepi dari hiruk-pikuk duniawi. Sebab, saya merasakan Tuhan tidak hanya hadir di tempat-tempat sepi yang terasing. Tetapi, Dia juga merasuk ke seluruh dinamika kehidupan makhluk-makhluk-Nya, dalam sepi maupun keramaian tiada henti.

Dia berada bersama dengan orang-orang yang sedang salat sendiri maupun berjamaah. Dia juga sedang meliputi mereka yang berbuat maksiat, sendirian maupun bersama-sama. Dia kini mendampingi orang-orang yang bersabar dalam menghadapi segala ujian hidup, sekaligus meliputi orang-orang yang ingkar dalam menghadapi kebenaran.

Ya, Allah adalah Zat yang sedang bersama seluruh makhluk-Nya, di mana pun mereka berada. Langit luas yang bertabur miliaran bintang berada di dalam Kebesaran-Nya yang tiada tara. Lautan lepas yang berselimut kegelapan dan kecipak ombak sedang larut dalam Keperkasaan-Nya. Bahkan, seluruh peristiwa di langit dan di bumi, tak ada yang terjadi tanpa kehadiran-Nya. Sungguh, alam semesta hanyalah sebutir debu yang ''tenggelam'' dalam Samudera Keagungan yang tak berhingga.

''Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu'' (QS 4: 126). ''Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang yang kamu lihat (gaya gravitasi). Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari serta bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang telah ditentukan. Allah mengatur segala urusan, menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu (QS 13: 2).

Malam-malam akhir Ramadan bagaikan hari-hari di mana Nabi Musa diperintah Allah menyempurnakan puasa sebelum berbicara dengan-Nya. Dengan kemurnian puasanya itu beliau menerima wahyu di Gunung Sinai. Hari-hari ini juga bagaikan saat-saat akhir tahanuts Rasulullah SAW di Gua Hira', yang sesudah itu beliau menerima wahyu Alquran nul Karim, cahaya penerang bagi manusia akhir zaman.

Turunnya hikmah ilmu kehidupan selalu seiring dengan proses penyucian diri yang sempurna. Ketika jiwa dan raga telah larut dalam proses penyerahan diri kepada Zat Yang Mahasuci, itulah saat Lailatul Qadar turun kepada orang-orang yang berpuasa sempurna pada Ramadan. Hikmah itu dibawa oleh Malaikat Jibril yang memang bertugas menyampaikan ilmu-ilmu Allah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Berjuta malaikat mengiringi sang Jibril di akhir-akhir proses penyucian diri yang istiqamah.

Lailatul Qadar tak akan turun kepada orang-orang yang secara ''dadakan'' mencegat datangnya malam seperti mencegat datangnya keberuntungan dalam sebuah undian. Sebab, sesungguhnya, bukan ''malam'' itu yang menjadi substansinya, melainkan pengetahuan mendalam yang disebut Alquran sebagai Al Hikmah. Betapa naifnya orang-orang yang ''mencegat'' datangnya ''sebuah malam'' di akhir Ramadan secara dadakan, karena malam hari di Indonesia sebenarnya sore hari di Timur Tengah, dan siang hari di Amerika.

''Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada saat Lailatul Qadar... Turun para malaikat dan Jibril di malam itu dengan izin Tuhannya, untuk mengatur segala urusan (yang penuh hikmah)...'' (QS 97: 1&4). (bersambung/ari)


JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 8 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=154277

Menyusuri Laut Merah ke Tempat Nabi Khidr

TURUN dari Jabbal Musa yang kami naiki waktu sahur, kami sampai di penginapan pukul 10 pagi. Untuk menghilangkan lelah setelah mendaki Gunung Sinai semalaman, saya langsung beristirahat. Apalagi, setelah duhur kami harus checkout untuk melanjutkan perjalanan ke Sharm el Sheikh, sebuah kota di tepi Laut Merah yang masih berjarak sekitar 270 km ke arah selatan.

Menuju Sharm el Sheikh, kami tidak melewati rute yang kami lewati saat datang, melainkan mengambil rute selanjutnya. Kalau awalnya datang dari arah Teluk Suez di sebelah timur, kami melanjutkan perjalanan ke arah barat sehingga bertemu pantai Teluk Aqabah yang berseberangan dengan Jazirah Arab. Setelah itu, berbelok ke kanan melewati Kota Dahab, menuju ke ujung paling selatan dataran Sinai.

Kurang lebih empat jam kami menyusuri pegunungan batu dan padang pasir. Separo perjalanan terakhir menyusuri pantai Teluk Aqabah yang berseberangan dengan negara Arab Saudi. Pemandangan di kawasan ini tak kalah indah dengan pantai timur di Teluk Suez. Kami menyusuri pantai itu sejauh lebih dari 100 km. Di sebelah kanan, bukit dan padang pasir. Sedangkan di sebelah kiri, laut yang indah membiru.

Keindahan itu berujung di Sharm el Sheikh, kota paling selatan dari dataran Sinai. Ia terletak di tepi pantai Laut Merah yang luar biasa. Di sinilah Selat Aqabah bertemu dengan Selat Suez. Di sebelah kanan kami adalah laut yang menjorok ke Teluk Suez, sedangkan di sebelah kiri kami adalah laut yang menjorok ke Teluk Aqabah. Kami persis berada di persimpangan dua teluk itu.

Memasuki pintu gerbang kota, sudah terlihat pantai yang ramai dengan kapal-kapal pesiar. Di sepanjang pantainya berdiri gedung-gedung megah, hotel, apartemen maupun vila bergaya Eropa. Kota yang memanjang searah pantai itu terbagi dalam tiga wilayah. Yakni, wilayah permukiman lama yang disebut Old Town. Kedua, kawasan tepi pantai yang disebut Sharm el Moya. Di kawasan ini terdapat hotel-hotel mewah, tempat-tempat hiburan malam, spa, pusat perbelanjaan, dan segala macam permainan yang disesaki turis-turis Barat.

Kawasan ketiga adalah El Hadaba, kawasan yang dipenuhi permukiman warga asing untuk berlibur, seperti vila, kondominium, dan apartemen. Berada di kawasan ini seperti berada di kawasan Eropa. Apalagi, banyak bule yang berlalu lalang di jalan-jalan.

Kota Sharm el Sheikh sudah jauh berubah bila dibandingkan pada 1980-an. Dulu daerah ini merupakan desa nelayan yang kecil. Kawasan ini sempat menjadi rebutan antara Mesir dan Israel. Bahkan, pernah diduduki Israel pada 1956 dan 1967. Tetapi, kemudian dikembalikan ke Mesir pada 1982 atas tekanan PBB dan dunia internasional. Sekarang kawasan yang sangat strategis itu menjadi pantai wisata nomor wahid di Mesir, bahkan di Timur Tengah.

Presiden Hosni Mubarak sangat suka dengan tempat ini, sehingga sering menerima tamu-tamu negara atau menyelenggarakan pertemuan internasional di sini. Bahkan, hampir setiap tahun, selama libur Idul Fitri, Mubarak dan keluarga memilih berada di Sharm el Sheik untuk berlibur. Sampai-sampai ada yang menyebut kota ini sebagai kota Mubarak. Meskipun pernah dibom oleh kalangan radikal Mesir pada 2005, kota ini mendapat julukan City of Peace.

Memasuki kota, kami berusaha mencari lokasi yang disebut dalam Alquran sebagai tempat bertemunya dua laut itu. Dari peta kami tahu bahwa itu adalah kawasan yang kini bernama Ras Muhammad. Kawasan itu benar-benar berada di paling ujung dataran Sinai. Bentuknya tanjung yang menjorok ke laut.

Kawasan sepi itu kini menjadi cagar alam kehidupan biota laut yang sangat digandrungi wisatawan dunia. Mereka senang menyelam di lepas pantai karena di dasar lautnya ada ribuan jenis ikan dan terumbu karang yang langka. Bahkan, ada kawasan yang memiliki gugusan karang berusia dua juta tahun, yang memberikan banyak informasi tentang kondisi alam masa silam. Tak kurang dari 50 ribu penyelam setiap tahun datang ke Ras Muhammad. Daratannya memang sepi, karena kebanyakan turis langsung membawa kapal dari dermaga menuju ke lepas pantai agar bisa langsung menyelam.

***

Kemarin sore (6/9) menjelang matahari tenggelam, saya berada di pantai tempat bertemunya dua laut itu. Lokasinya seperti yang digambarkan dalam Alquran. Benar-benar surprise dan terasa seperti dalam mimpi. Di sinilah, ribuan tahun silam, dua hamba Allah bertemu untuk mempelajari salah satu rahasia ilmu Allah yang luar biasa tinggi, yaitu tentang kesabaran. Mereka adalah Nabi Musa, sang Kalimullah, dan Khidr, seorang misterius ''penunggu pantai'' yang tidak dikenal.

Allah menceritakan kisah itu dalam Alquran al Karim, ketika memerintahkan Musa untuk bertemu guru spiritual yang tak disebutkan namanya itu. ''Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun'' (QS 18: 60).

''Lalu mereka bertemu dengan seseorang di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami'' (QS 18: 65).

Mengapa Musa yang hebat itu -memiliki sembilan mukjizat dan bisa berbicara langsung dengan Allah di puncak Sinai- masih diperintah Allah untuk berguru kepada Khidr? Ternyata, Musa dianggap Allah belum memiliki kualitas kesabaran yang seharusnya. Apalagi, menghadapi umatnya -Bani Israil- yang terkenal sangat cerewet dalam beragama.

Musa berkata kepada Khidr, ''Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?'' (QS 18: 66). Dia menjawab, ''Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?'' (QS 18: 67-68).

Mendalam sekali dialog dua hamba Allah itu. Musa yang sedemikian hebat diprediksi Khidr tidak akan bisa bersabar mengikutinya karena ilmunya ''belum cukup''. Kesabaran ternyata hanya bisa dilakukan jika seseorang memiliki ilmunya. Jika tidak, ia hanya bisa ''menyabar-nyabarkan'' diri belaka. Terpaksa sabar. Belum benar-benar bersabar. Dan terbukti, selama mengikuti Khidr, Musa sering protes kepadanya ketika Khidr melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal.

Sesuatu dikatakan masuk akal atau tidak bergantung pada seberapa tinggi ilmu yang telah dimiliki seseorang. Karena itu, Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu dan mengedepankan akal sehat dalam menjalankannya. Hanya orang-orang yang berilmu dan berakal sajalah yang bisa menjalankan agama ini dengan baik, sehingga tercapai tatanan masyarakat yang rahmatan lil alamin yang sebenar-benarnya. (bersambung/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 7 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=154106

Senin, 06 September 2010

Mendaki Gunung Sinai pada Waktu Sahur

MENJELANG magrib, kami sampai di Kota St Katherine. Itulah sebuah kota kecil di kaki Gunung Sinai, yang penduduknya hanya beberapa ribu keluarga. Kotanya tenang, jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermotor. Kawasan lembah tersebut berada di cekungan perbukitan batu yang tandus dan tebing-tebing tinggi. Bila matahari hampir tenggelam, sekitar pukul tujuh malam, pemandangannya seperti bayang-bayang raksasa yang berkerumun.

Kami langsung mencari penginapan agar bisa beristirahat sejenak setelah berkendara enam jam melintasi gurun pasir. Sejumlah hotel strategis yang kami datangi fully booked. Tak ada kamar kosong. Kami lantas mencari tempat singgah yang agak ke ujung jalan. Alhamdulillah, masih ada kamar kosong. Ternyata, sejumlah hotel itu dipesan rombongan turis dari Eropa. Beberapa bus berderet-deret di depan hotel mereka.

Pukul dua dini hari, setelah salat malam dan sahur, kami telah berada di kaki Gunung Sinai. Terminalnya penuh dengan bus dan kendaraan para peziarah. Kebanyakan di antara mereka datang dari Eropa dan beragama Kristen. Sebagian lagi merupakan orang-orang Yahudi. Sedikit di antara mereka yang beragama Islam. Bagi orang Kristen dan Yahudi, berziarah ke Gunung Sinai setara dengan umrah ke tanah suci Makkah bagi umat Islam.

Mereka membawa perbekalan yang cukup untuk mendaki gunung setinggi 2.285 meter dari permukaan laut tersebut. Tetapi, pendakian dari kaki Gunung Sinai sebenarnya tinggal sekitar 1.000 meter. Jalan setapaknya hanya bisa dilewati unta dan manusia. Saya lihat, kebanyakan peziarah membawa ransel kecil berisi makanan dan minuman sambil memegang tongkat.

Yang paling penting adalah minuman atau air mineral. Sebab, berdasar pengalaman para peziarah sebelumnya, pendakian itu memakan waktu empat jam untuk naik dan tiga jam untuk turun. Jadi, total waktu yang diperlukan sekitar tujuh jam. Karena itu, tentu para pendaki harus mengganti tenaga yang hilang dengan makanan dan minuman. Sayang, kami tidak akan bisa melakukan itu karena berpuasa. Tetapi, tekad kami sudah bulat. Kami harus sampai di atas. Terutama saya, agar bisa bercerita kepada pembaca.

Pada waktu sahur itulah kami mulai mendaki dengan berjalan kaki. Suasana gelap malam mengharuskan peziarah membawa senter. Tapi, setelah beberapa saat berjalan dalam kegelapan, kami memilih tidak menggunakan senter lagi. Mata kami sudah beradaptasi dengan kegelapan malam. Apalagi, bulan sepotong di langit sangat membantu menerangi jalan setapak yang kami lewati.

Tak berapa lama berjalan, kami bertemu dengan gereja besar di kaki Gunung Sinai, Gereja St Katherine. Gereja itu cukup legendaris bagi masyarakat kota tersebut. Di depannya ada pos penjagaan polisi. Kami ditanyai, apakah sudah membawa pemandu untuk berziarah. Sebab, yang tidak kenal rute bisa tersesat dan tidak diizinkan meneruskan perjalanan. Kecuali, kami "menyewa" salah seorang polisi itu sebagai guide. Kami berusaha menawar agar bisa mendaki sendiri. Sebab, salah seorang anggota tim ekspedisi, Dadan S. Junaedy, pernah mendakinya.

Mereka bersikukuh melarang kami naik. Kecuali, kami mau menyewa unta dan penggembalanya yang orang Badui. Akhirnya, kami memutuskan menyewa unta saja, empat ekor, sekalian berhemat tenaga karena puasa. Maka, menjelang subuh itu, kami mengendarai unta menuju puncak Sinai.

Ternyata, naik unta dalam waktu lama tidak senyaman yang kita duga. Perut dan pinggang serasa dikocok-kocok, sakit semua. Apalagi, kala jalan menanjak dan unta kadang tidak dijaga sepenuhnya oleh para penggembala. Lebih nikmat berjalan kaki.

Setiap dua ekor unta dijaga seorang Badui. Maka, satu jam naik unta, istri saya menyerah. Dia ketakutan karena unta yang ditunggangi lepas kendali. Dia akhirnya minta turun di pos peristirahatan pertama. Dia tidak mau melanjutkan pendakian lagi. Dia ketakutan naik unta di jalan terjal, apalagi badan terasa pegal-pegal.

Saya memutuskan melanjutkan perjalanan berdua dengan Dadan. Sementara itu, anggota tim lain, Yovi, saya minta menemani istri saya di pos. Perjalanan yang tersisa masih sekitar 2,5 jam dengan rute yang semakin menanjak. Saya salat Subuh di atas unta. Sebab, tidak ada musala atau tempat yang layak untuk salat di daratan.

Dua jam kemudian, punggung dan perut saya benar-benar sakit. Hampir-hampir tak tahan rasanya. Untung, di depan saya sudah terlihat tempat pemberhentian terakhir, yaitu pos ketujuh. Sisa rutenya sudah tidak bisa ditempuh dengan naik unta lagi. Kami harus berjalan kaki. Lalu, masya Allah, sisa rute tersebut ternyata berupa tebing terjal menuju puncak Jabbal Musa. Di depan saya membentang anak tangga dari bebatuan dengan kemiringan 45-60 derajat.

Anak tangga itu berjumlah sekitar 800 buah. Ketinggian setiap terapnya sekitar 30 cm. Jadi, tebing yang masih harus didaki sekitar 250 meter lagi. Itulah perjuangan terakhir sebelum para peziarah menikmati matahari terbit di puncak Sinai dan merasakan suasana Nabi Musa saat berada di sana. Dengan memompa semangat, saya mendaki tebing curam tersebut dengan sangat berhati-hati. Hari menjelang pagi.

Ketinggian yang hanya 250 meter itu serasa berkilo-kilometer. Setiap belasan anak tangga, napas saya terengah-engah. Maklum, sudah lebih dari 20 tahun saya tidak mendaki gunung lagi. Tenggorokan juga semakin kering, tapi tidak bisa dialiri air minum karena berpuasa.

Meski medan superberat, semangat saya tak surut sedikit pun. Terbayang betapa Nabi Musa naik ke bukit itu sendirian untuk bermunajat kepada Allah. Sekitar setengah jam kemudian, perjuangan kami finis. Jantung serasa hampir copot. Napas memburu dalam dinginnya hawa pegunungan yang berkadar oksigen rendah.

Namun, sungguh luar biasa pemandangan di puncak Jabbal Musa. Di ufuk timur, matahari beranjak memperlihatkan diri. Warna langit yang kuning kemerahan menjadi latar belakang puncak-puncak gunung di sekitarnya, di antara lembah dan ngarai yang tiada tara. Subhanallah...!

Di puncak itulah para peziarah mengucap syukur kepada Sang Pencipta dalam bahasa agama masing-masing. Saya melihat, ada dua tempat ibadah tak seberapa besar yang bertengger di puncak Sinai, yaitu sebuah musala dan gereja. Sebagian peziarah memanfaatkannya untuk berdoa. Sebagian lagi memilih berdoa di tempat terbuka sambil menikmati matahari terbit.

Saya memilih berdoa dan bersyukur di atas sebuah batu besar, yang dari tempat itu saya bisa melihat lembah sekeliling puncak Jabbal Musa. Saya membayangkan, di situlah dulu utusan Allah tersebut bermunajat kepada-Nya, berdialog langsung dengan-Nya. Ketika beliau meminta kepada Allah untuk bisa melihat Zat-Nya, bukit di sekitar puncak Jabbal Musa bergetar hebat, lantas runtuh sehingga membuat Nabi Musa pingsan.

Kini saya menyaksikan bukit-bukit batu itu. Memang berbeda dengan bukit-bukit yang lebih jauh di sekelilingnya. Banyak batu di sekitar puncak Jabbal Musa yang terbelah berantakan, seperti pernah terkena gempa.

Saya menjadi ingat firman-Nya dalam Alquran: ... Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung, gunung itu pun hancur dan Musa jatuh pingsan. Setelah tersadar, Musa berkata, "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman (QS. 7: 143)." (bersambung/c11/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 6 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=showpage&kat=1&subkat=53

Minggu, 05 September 2010

Tongkat Musa dan Perjuangannya Membimbing Bani Israil

MENYEBRANGI Teluk Suez, kami memasuki Benua Asia. Namun, karena masih berdekatan dengan Benua Afrika, suasananya tak terlalu jauh berbeda. Sepanjang mata memandang, terlihat gurun pasir yang tandus berhias bukit-bukit bebatuan. Inilah kawasan Gurun Sinai yang terkenal itu. Sinai Utara penuh dataran padang pasir, sedangkan Sinai Selatan penuh dengan perbukitan.

Untuk menyeberanginya, kami tidak perlu menggunakan feri, tapi cukup melalui terowongan bawah laut sepanjang 1,5 km. Itulah jarak penyeberangan yang paling dekat antara Benua Afrika dan Asia. Diperkirakan, di sekitar daerah itu Musa dan orang-orang Bani Israil menyeberang saat dikejar Firaun Merneptah. Tempat penyeberangan tersebut kini menjadi tempat lalu lalang kapal-kapal berukuran besar dari kawasan Eropa menuju Asia maupun sebaliknya.

Keluar dari terowongan, kami menyusuri pantai menuju Gunung Sinai atau yang dikenal sebagai Jabbal Musa. Jaraknya sekitar 415 km dari Kairo atau sekitar 300 km dari terowongan Teluk Suez. Pemandangan di kanan kiri kami sangat kontras, namun indahnya luar biasa. Di sebelah kiri, kami hanya menyaksikan perbukitan batu-batu cadas. Sedangkan di sebelah kanan kami adalah laut luas yang membiru. Ya, kami sedang menyusuri pantai Teluk Suez ke arah selatan.

Kawasan Sinai sangat bersejarah karena menjadi saksi berbagai peristiwa eksodusnya Bani Israil dari Mesir. Sebelum memasuki Palestina yang menjadi tujuan akhir mereka, Bani Israil sempat bertahun-tahun berada di kawasan tandus tersebut. Banyak kejadian menarik yang menyertai perjalanan Bani Israil.

Setelah berhasil memimpin Bani Israil keluar dari Mesir, Musa bersama umatnya menuju Gunung Sinai. Musa ingin bermunajat dan bersyukur kepada Allah atas perlindungan yang diberikan-Nya. Dia juga memohon bimbingan untuk membawa umatnya ke tanah harapan, yaitu Palestina.

Musa meninggalkan Bani Israil di kaki Sinai, dalam pimpinan saudaranya, Nabi Harun. Dia berjanji pulang setelah 30 hari bermunajat di puncak Sinai. Maka, Musa pun berpuasa selama 30 hari untuk menyucikan jiwa raganya agar bisa berkomunikasi dengan Allah lebih jernih. Ternyata, Allah memerintahkan untuk menyempurnakan puasanya menjadi 40 hari. Lantas, Musa memperoleh wahyu Taurat untuk umatnya.

Digambarkan, Musa berdialog langsung dengan Allah sehingga dia memperoleh julukan Kalimullah di dalam Alquran, yakni orang yang diajak bicara langsung oleh-Nya. ''Allah berfirman: Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih kamu di antara manusia yang lain, untuk membawa risalah-Ku. Dan untuk berbicara langsung dengan-Ku. Karena itu, berpegang teguhlah pada apa yang Aku berikan kepadamu. Dan, hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur'' (QS 7: 144).

Sayang, sepulang Musa dari puncak Sinai, kaumnya justru terpengaruh ajakan Samiri untuk beribadah mengikuti agama pagan lagi. Mereka menyembah patung sapi buatan Samiri, yang sebenarnya juga salah seorang kaum Musa. Kepada umat Musa, Samiri berkata bahwa Musa sudah hilang di puncak Sinai. Tuhan yang disembah Musa juga hanya bohong-bohongan karena tidak bisa dilihat. Tuhan yang benar, kata Samiri, adalah apa yang telah mereka kenal selama di Mesir. Yaitu, Dewi Hathor yang bertanduk sapi dan Apis, sang Dewa Sapi.

Tentu saja Musa marah dan sedih bukan main melihat kenyataan itu. Samiri pun dihajar. Patung sapinya dilempar. Bahkan, Nabi Harun pun dipegang kepalanya, hendak dihajar juga. Namun, Harun bisa menenangkan kembali Musa dan menjelaskan bahwa keterlambatan Musa pulang membuat Samiri bisa memengaruhi umat Bani Israil yang lemah iman untuk kembali ingkar.

Tidak hanya itu, Bani Israil lantas meminta Musa untuk menunjukkan keberadaan Allah sebagai Tuhan yang bisa terlihat. Tentu saja Musa gemetar karena sesungguhnya dia baru melakukan permintaan yang sama kepada Allah ketika sedang di puncak Sinai. Saat itu, bukit tempat dia berpijak bergetar hebat dan bebatuan di sekitarnya hancur berantakan. Musa pun pingsan.

Kini, permintaan itu juga diucapkan umatnya dan Allah kemudian menunjukkan kekuasaan-Nya lagi dengan menurunkan halilintar. ''Dan (ingatlah), ketika kalian (Bani Israil) berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas, karena itu kalian disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya'' (QS 2: 55).

Setelah bisa menguasai kembali umatnya, Musa mengajak mereka menuju Palestina. Itulah tanah yang dijanjikan bagi Bani Israil untuk bermukim dengan tenang. Tapi, saat itu Palestina sedang dikuasai bangsa lain, yang tidak menghendaki Bani Israil bermukim di Palestina. Padahal, sebenarnya mereka memiliki hak atas tanah Palestina karena nenek moyang mereka dari kawasan ini.

Musa mengajak mereka untuk menuntut hak tersebut, meski untuk itu harus berperang. Sayang, sebagian besar Bani Israil tidak mau melakukannya. Mereka justru ketakutan dan memilih untuk mengembara di sekitar Gurun Sinai yang dikenal sebagai Padang Tiih. Kisah itu diceritakan panjang lebar dalam QS 5: 21-26.

''Allah berfirman: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (Padang Tiih) itu. Maka, janganlah kamu bersedih hati (memikirkan) orang-orang yang fasik tersebut'' (QS 5: 26).

Maka, menderitalah Bani Israil selama empat puluh tahun di Gurun Sinai. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan yang lain. Untungnya, Allah masih sangat pemurah kepada mereka. Karena itu, mereka tetap memperoleh makanan di daerah tandus tersebut. Di antaranya yang diterangkan Alquran adalah Manna dan Salwa, yaitu sejenis madu dan burung puyuh. Dengan makanan itu, mereka memperoleh sumber karbohidrat, protein, dan lemak untuk hidup.

Bani Israil juga menyuruh Musa untuk meminta air kepada Allah. Mereka ingin bukti bahwa Tuhan yang disembah Musa benar-benar ada. Dengan sabar, Musa memohon kepada Allah. Dia lalu diperintah Allah untuk memukulkan tongkatnya ke bebatuan. Maka, di luar dugaan, menyemburlah mata air-mata air dari pecahan bebatuan itu. Jumlahnya 12 buah, sebanyak suku Bani Israil yang menjadi umat Nabi Musa. Bekas mata air yang dikenal sebagai Uyun Musa itu masih bisa dilihat di padang pasir Sinai

Tidak hanya itu, mereka kemudian meminta lagi dengan cerewetnya, agar Musa memintakan kepada Tuhannya, segala macam sayuran, buah-buahan, rempah-rempah, dan segala macam yang mereka butuhkan. Permintaan itu membuat Musa marah. Padahal, kata Musa, mereka bisa memperoleh itu di kota-kota terdekat karena tak mungkin mendapatkannya di Gurun Sinai yang tandus.

Musa memutuskan untuk bersabar dalam membimbing umatnya. Dia menunggu Bani Israil sampai melahirkan generasi berikutnya. Pelajaran sabar itulah yang dia peroleh dari Nabi Khidr, ketika Allah memerintahkan untuk berguru kepadanya. Empat puluh tahun kemudian, Musa berhasil mendidik generasi muda Bani Israil untuk berjuang memasuki negeri harapan, yakni Palestina. Sayang, dia keburu meninggal sebelum Bani Israil berhasil masuk ke kota suci itu. (bersambung/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 5 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=153790

Sabtu, 04 September 2010

Pengalaman Ulama Suni Indonesia "Belajar" di Komunitas Syiah Iran (2-habis)

Masuk ke Musala Pesaing Masjidilharam

Iran mulai diminati pelajar Indonesia yang ingin studi Islam. Alumninya kelak bisa menjadi perekat bagi pemahaman yang lebih baik antara penganut Suni dan Syiah. Berikut lanjutan catatan MOH. ALI AZIZ, guru besar IAIN Sunan Ampel.

---

SAAT ini jumlah jumlah pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran sekitar 175 orang. Dari jumlah itu, sebagian besar atau 150 orang memilih belajar ilmu agama di Hauzah Ilmiyah di Kota Qom.

Hauzah Ilmiyah adalah perguruan tinggi di bawah payung Jamiatul Musthafa Al Alamiyah. Selain di Qom, lembaga tersebut mempunyai beberapa perguruan tinggi di Kota Mashad, Isfahan, dan Gorgan (khusus untuk penganut Sunni). Semula lembaga tersebut bernama Markaz Jahani Ulume Islami. Pergantian nama ini seiring dengan perubahan menjadi universitas, seperti perubahan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia.

Yang menarik, para istri (pelajar/mahasiswa) juga wajib ikut kuliah plus menjadi santri di perguruan tinggi yang sistem pengajarannya bernuansa pondok pesantren itu. Karena mahasiswa sekaligus juga santri, belajarnya seharian penuh.

Salah seorang anggota IPI yang kerap mendampingi saya selama di Iran adalah Choiruddin, pelajar asal Lombok Timur. Dia sedang menyelesaikan S2 di Universitas Mazahabe Islami di bawah Kementerian Sains dan Ristek Iran yang berdiri sebelas tahun lalu.

Choiruddin adalah salah seorang di antara tiga mahasiswa yang dikirim PB NU untuk kuliah di negeri Mullah itu. Tiga mahasiswa itu sebelumnya kuliah di Qom. Karena tidak kuat dengan tekanan ideologis (karena berlatar belakang Suni), akhirnya mereka pindah ke universitas di Teheran melalui perjuangan yang berliku-liku. Di ibu kota Iran mereka agak leluasa untuk menampakkan jati diri sebagai mahasiswa non-Syiah.

Ada dua jenis beasiswa di Iran, yaitu dari pemerintah melalui Kementerian Sains-Ristek dan Jamiatul Musthofa Al Alamiyah, lembaga swasta untuk pusat studi Syiah di Kota Qom. Pelajar menerima beasiswa dari pemerintah Iran antara 400 ribu-1 juta riyal Iran per bulan (nilai tukar satu riyal hampir sama dengan rupiah). "Alhamdulillah cukup, Pak," kata Dadan, mahasiswa Universitas Internasional Imam Khumaeni di Qazvin, sekitar 150 kilometer dari Teheran.

Menurut Dadan, beasiswa itu cukup karena biaya asrama ditanggung. Demikian pula makan di kampus disubsidi sehingga hanya membayar dua ribu riyal. Padahal, di luar harus 50 ribu sekali makan. Tidak hanya itu, naik bus hanya membayar 200 riyal (Rp 200) dengan tiket jauh dekat.

"Untuk kami yang di Qom hanya (dapat bea siswa, Red) 500 ribu riyal,|" kata Abdurrahman, alumnus UIN Alauddin Makasar yang sudah dua tahun di Qom. "Anak saya ini mendapat jatah satu beasiswa," katanya sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun.

Di antara ratusan pelajar Indonesia, ada seorang yang telah menyelesaikan S3 bidang filsafat dan seorang lagi dalam proses penyelesaian S3. Yang lebih hebat, ada pelajar Indonesia yang sudah 28 tahun belajar di Qom. Dia sudah berada di jenjang darajatul mujtahid sehingga beberapa tahap lagi menjadi ayatullah. Bisa jadi, dialah orang Indonesia pertama yang bergelar ayatullah.

Seorang ayatullah sudah diberi otoritas menjadi mujtahid (pengambil keputusan hukum Islam). Ia bisa juga memasuki jenjang yang paling atas, ayatullah udhma yang bisa menjadi rujukan taqlid. Seorang ayatullah dituntut menguasai satu disiplin ilmu, sedangkan ayatullah udhma multidisiplin.

Yang menarik, untuk setiap jenjang itu, seseorang harus menghafal sejumlah kitab standar Syiah dan menyusun karya ilmiah. Di Iran, para akhund (ulama) itulah yang mengendalikan negara, mulai level lokal hingga nasional. Sektor swasta maupun negeri. Dengan demikian, tidak ada satu pun lembaga di negeri itu yang lepas dari kontrol agama.

Ironisnya, saat ini gejala degadrasi kepercayaan kepada tokoh agama amat sering saya dengar dari beberapa mahasiswa dan sopir taksi di Teheran. Keluhan itu dipicu oleh, antara lain, naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, buku, bahkan bensin setelah pencabutan subsidi. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi para akhund apakah para agamawan bisa membawa Iran lebih sejahtera.

Sebagai negara republik Islam yang menempatkan para agamawan di tempat yang strategis, Iran memiliki perhatian besar pada agama. Salah satu even menarik selama Ramadan ini adalah Pameran Alquran Internasional yang dilaksanakan di Musala Imam Khumeini.

Pameran internasional itu dilaksanakan oleh pemerintah setiap Ramadan. Meski diadakan di "musala", menurut saya, itulah musala yang terbesar di dunia.

Saya tidak tahu persis luasnya, tapi saya perkirakan ratusan hektare. Saya mengitari dengan sedan sampai berganti tiga nama jalan di jantung Kota Teheran itu, namun belum juga tuntas. Jangan tanya berapa lama membangunnya! Sebab, saat ini merupakan tahun ke-20 sejak mulai dibangun (setelah memindahkan ratusan rumah penduduk), tapi pembangunannya belum mencapai 40 persen.

Itulah musala yang sering disebut orang dibangun untuk "menandingi" Masjidilharam di Makkah atau Masjid Nabawi di Madinah. Di dekat musala ada beberapa hutan buatan dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Di sepanjang tepi jalan raya ada saluran air dari gunung berdiameter 50 cm untuk penyiraman dua kali sehari di tanah gersang itu.

Pameran buka pukul 17.00-24.00. Ini jam buka pameran yang wajar bagi masyarakat Iran karena tidak ada tarawih dan tidak ada tadarus bagi mereka selama Ramadan.

"Subhanallah," ucap saya berkali-kali melihat kemegahan musala dan menyaksikan secara langsung macam-macam kitab Alquran. Desain dan kaligrafi yang ditampilkan belum pernah saya jumpai di museum Belanda maupun di Indonesia.

Tidak hanya itu, para wanita anggun berpakaian serbahitam menunggu beberapa pengunjung di lobi untuk berdiskusi tentang Alquran. Ada ruang untuk diskusi, bahkan debat terbuka, tentang tafsir, fikih, atau tauhid yang dipandu oleh akhund.

"Banyak di antara mereka yang berpredikat hujjatul Islam yang setara dengan profesor," kata Choiruddin kepada saya sambil menunjuk debat terbuka yang disiarkan langsung melalui televisi.

Ada satu stan yang semua penjaganya wanita muda dengan laptop di tangannya. Mereka bukan menjual produk yang terkait dengan Alquran, tapi memamerkan klasifikasi dan kajian mendalam Alquran terkait dengan disiplin ilmu biologi, fisika, astronomi, kedokteran, dan sebagainya.

Persis di pintu keluar, saya mendapat suguhan pameran yang tidak kalah menarik, yaitu patung para nabi, mulai Nabi Adam, Nuh, Ibrahim yang sedang berjihad melawan kaum pembangkang. Tetapi, tidak ada patung Nabi Muhammad.

Di tempat itu pula Pameran Buku Internasional diadakan setiap tahun dengan suasana yang jauh lebih meriah. Setelah mengelilingi tempat tersebut, baru saya paham mengapa namanya musala (bukan masjid). Mungkin agar bisa lebih leluasa untuk mengadakan even-even akbar setiap saat.

Yang membuat saya takjub, semua Alquran yang dipamerkan oleh negeri dengan 97 persen penganut Syiah itu sama persis dengan milik kaum Suni.

Setelah keluar dari tempat pameran, saya bermimpi suatu saat tidak boleh lagi ada bentrokan antara Suni dan Syiah. Sebaliknya, masing-masing bisa bersama-sama membangun peradaban dunia dengan nuansa rahmatan lilalamin. (el/c1)

JAWA POS, 4 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=153651

Merneptah, Firaun yang Tenggelam di Laut Merah

MISTERI besar yang masih belum terjawab tuntas selama ini adalah siapakah Firaun yang bertarung melawan Nabi Musa namun akhirnya mati tenggelam di Laut Merah? Yang jelas bukan Firaun Ramses II yang hidup sezaman dengan Musa dan bahkan merawatnya sejak kecil. Sebab, Ramses II meninggal bukan karena tenggelam di tengah laut, melainkan lantaran sakit komplikasi pada masa tuanya. Ramses II meninggal pada usia 97 tahun.

Kekuasaan Ramses II kemudian digantikan anaknya, Merneptah. Dia merupakan anak laki-laki tertua yang masih hidup, setelah dua belas kakak laki-lakinya meninggal sebelum masa pewarisan. Merneptah diangkat menjadi Firaun (raja) pada usia 50 tahun. Hampir sebaya dengan Musa. Sebelumnya, dia adalah panglima perang tentara Ramses II yang sangat terkenal. Pasukannya beranggota ratusan ribu tentara.

Seperti bapaknya, ketika berkuasa, Merneptah juga memproklamasikan diri sebagai Tuhan. Sikap sewenang-wenangnya tak jauh berbeda dari bapaknya. Jika Ra Mses bermakna keturunan Dewa Matahari (Ra), Merne Ptah bermakna Kesayangan Dewa Pencipta (Ptah). Merneptah mengendalikan kekuasaannya secara diktator militer. Dia akan menghukum siapa saja yang berani menentangnya dan tak segan-segan membunuhnya secara keji.

Alquran menggambarkan, Nabi Musa sempat ciut nyali ketika diperintah Allah untuk menemui penguasa negeri Mesir itu. ''Pergilah kepada Firaun; sesungguhnya ia telah melampaui batas. Berkata Musa: Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,'' (QS 20: 24-25).

Maka, Musa meminta izin kepada Allah agar memperbolehkan Harun, saudara sepupunya, untuk menemani dirinya dalam berdakwah. Apalagi untuk menghadapi Firaun dengan balatentaranya yang terkenal bengis itu.

''Sungguh, aku akan memotong tangan dan kakimu bersilangan secara timbal balik, kemudian sungguh aku akan menyalib kamu semuanya.'' Demikian ancam Firaun kepada siapa saja yang berani menentangnya. Termasuk kepada para tukang sihir yang kalah saat melawan Musa dan lantas memberikan pengakuan bahwa Musa benar-benar utusan Tuhan.

Apa yang dibawa Musa bukanlah sihir, melainkan mukjizat. Karena itu, bertambah murkalah sang Firaun terhadap Musa. Dia lalu mengobarkan permusuhan kepada Bani Israil (Musa, termasuk keturunan Bani Israil) secara lebih keras.

Tidak hanya memerintahkan untuk membunuh setiap anak laki-laki Bani Israil yang lahir, Firaun juga menyiksa dan menumpas Bani Israil. Pertarungan antara Musa melawan Firaun berlangsung sekitar 10 tahun, saat masa pemerintahan Merneptah (1213-1203 SM).

Pada zaman Merneptah itulah bangsa Israil kemudian terusir dari Mesir. Hal itu terlihat dari artefak di Museum Mesir, Kairo. Bukti sejarah tersebut ditulis dalam huruf Hiroglif di sebidang batu granit yang kemudian dinamakan Prasasti Merneptah atau Israel Stela. Itulah satu-satunya prasasti yang menyinggung tentang Bani Israil dalam artefak para Firaun yang berkuasa sepanjang ribuan tahun (dalam 30 dinasti).

Tak tahan menghadapi kebrutalan Firaun dan balatentaranya, Musa lalu mengajak seluruh Bani Israil untuk eksodus besar-besaran menuju Palestina, dengan menyeberangi laut di Teluk Suez. Ada tiga pendapat utama tentang lokasi penyeberangan itu. Yang pertama terletak di Danau Ballah, yang posisinya lebih dekat dengan Laut Mediterania dibanding Laut Merah. Jaraknya lebih dari 150 km dari Memphis.

Yang kedua, terletak di Danau Timsah yang berjarak sekitar 120 km. Sementara itu, versi ketiga, berada di ujung Teluk Suez yang berjarak tidak sampai 100 km. Saya lebih condong alternatif yang ketiga tersebut, yaitu di ujung Teluk Suez yang masih terhubung langsung dengan Laut Merah.

Ada alasan kuat yang mendasarinya. Yaitu, rombongan Musa sedang dikejar-kejar tentara Firaun. Tentu saja mereka berusaha sesegera mungkin untuk mencapai pantai. Sebab, menurut QS 20: 77, Musa dan rombongannya memang diperintah untuk berangkat saat malam menuju pantai dan baru tersusul Firaun serta pasukannya pada pagi. Karena itu, arah yang terdekat untuk menyeberang adalah Teluk Suez. Ayat itu menyebut laut sebagai tempat penyeberangan, bukan danau.

Selain itu, perjalanan ratusan ribu orang tersebut dilakukan dengan berjalan kaki. Tentu, mereka memilih jarak yang terdekat untuk sampai tujuan. Jika kecepatan berjalan mereka sekitar 15 km/jam, rombongan perlu waktu 6-7 jam untuk sampai di pantai. Berarti, sudah memasuki waktu pagi.

''Maka, setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul. Musa menjawab: Sekali-kali tidak akan tersusul; sungguh Tuhanku besertaku, Dia akan memberikan petunjuk kepadaku'' (QS 26: 61-62).

Benarlah apa yang menjadi keyakinan Musa. Allah memberikan pertolongan di luar dugaan. Sebab, Musa sendiri sebetulnya tidak tahu harus melakukan apa setelah rombongan Bani Israil sampai di tepi pantai, sementara tentara yang dipimpin Firaun semakin dekat.

Allah lalu memerintah Musa untuk memukul laut dengan tongkat yang dibawanya. Seketika itu juga bumi bergetar, diperkirakan terjadi gempa tektonik yang mengakibatkan tsunami. Air laut pun surut beberapa saat, sehingga memberikan kesempatan kepada rombongan Musa untuk menyeberang.

Tapi, tidak demikian halnya dengan pasukan Firaun yang berusaha mengejar rombongan Musa yang sudah sampai di seberang. Begitu Firaun dan pasukannya sampai di tengah laut, ombak besar menggulung mereka.

''Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu (Musa), lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Firaun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan'' (QS 2: 50).

***

Musa, sang utusan Allah, akhirnya bisa mengalahkan Firaun. Penguasa yang mengaku dirinya sebagai Tuhan itu pun tenggelam bersama ribuan tentara yang dikerahkan untuk membasmi Bani Israil. Allah menyelamatkan jasadnya untuk dijadikan pelajaran bagi umat yang hidup kemudian.

''Maka, pada hari ini Kami selamatkan badanmu (Firaun) supaya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu, dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami'' (QS 10: 92).

Jenazah Firaun ditemukan beberapa hari kemudian oleh masyarakat di tepi pantai dan lantas diserahkan kepada pihak kerajaan. Keganasan Firaun Merneptah pun runtuh dalam sepuluh tahun kekuasaannya. Jasadnya dimumifikasi dan dikubur di Lembah Raja, di makam keluarga KV-5. Kini, muminya bisa disaksikan di Museum Mesir, Kairo, yang dibaringkan berdekatan dengan mumi ayahnya, Ramses II.

Tapi, menariknya, warna kulit mumi Merneptah berbeda dari mumi-mumi lainnya. Mumi Firaun yang satu ini berwarna pucat keputih-putihan. Diduga, itu terjadi karena jenazahnya terendam air laut selama beberapa hari saat tenggelam di Laut Merah. (bersambung/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 4 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=showpage&kat=1&subkat=53

Jumat, 03 September 2010

Pengalaman Ulama Suni ''Belajar" di Komunitas Syiah Iran (1)

Kaligrafi Indah Itu Ternyata Pelaris Dagangan

Untuk yang ketiga, Prof Dr Moh. Ali Aziz MA, guru besar Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, diundang ke Iran untuk menjadi imam Tarawih dan narasumber kajian Islam selama Ramadan. Berikut catatan perjalanannya dari negeri berpaham Syiah itu yang ditulis dari Teheran.

---

''SALOM, salom," teriak anak berusia sekitar sepuluh tahun sambil berjalan tergesa-gesa. Kaki kecilnya beringsut di tengah jamaah yang baru selesai salat Duhur di Masjid Hadharat Qaim, kira-kira 50 meter dari Wisma Kedutaan Besar Republik Indonesia Teheran, tempat saya tinggal. Inilah hari pertama Ramadan (11/8) sekaligus salat Duhur berjamaah pertama pada kunjungan ketiga saya di Teheran.

Masyarakat Iran lebih terbiasa dengan ucapan salom daripada assalamualaikum seperti di Indonesia. Bocah berhidung mancung dengan celana panjang dan kaus bergaris itu terlambat datang. Seharusnya dia bertugas sebagai "remote" salat Duhur. Karena terlambat, dia baru melaksanakan tugasnya untuk salat Asar yang selalu dikerjakan satu waktu dengan Duhur (Demikian juga, salat Isya di sana dikerjakan secara berjamaah pada waktu magrib).

Bocah itu langsung memegang mikrofon. Dia berdiri tiga meter sebelah kanan imam. ''Allahu Akbar," komando sang bocah kepada jamaah di belakangnya, segera setelah imam yang mengenakan pakaian kebesaran jubah cokelat tua dan serban putih memulai salat. Demikian seterusnya untuk komando rukuk, sujud, iktidal, dan sebagainya.

Pada rakaat kedua salat jamaah itu, saya keliru memahami komando. Sebelum rukuk, terdengar komando takbir. Saya langsung rukuk sebagaimana biasa saya lakukan. Ternyata itu komando doa kunut. Baru takbir berikutnya, komando rukuk.

Dalam perjalanan pulang dengan udara panas yang sampai membuat hidung keluar darah, saya berkata dalam hati, ''Hebat benar, seorang bocah bisa memberi komando sang syekh". Yang menarik, meski memberikan komando, dia tidak ikut salat. Bocah ''remote" itu baru salat -sendirian- setelah salat jamaah usai.

Tidak selalu ''remote" salat jamaah adalah anak-anak. Di Masjid Jamik Imam Shodiq Alaihissalam di Aqdasiyeh Street Teheran, komando salat diucapkan orang dewasa yang duduk persis di depan imam salat. Dengan celana dan baju lengan panjang yang disingsingkan sedikit dan tanpa tutup kepala, dia memberikan komando dengan suara mantap.

Masyarakat Iran tidak biasa menggunakan tutup kepala saat salat di masjid. Hanya imam yang menggunakan tutup kepala dengan serban hitam atau putih. Serban hitam sebagai tanda bahwa dia sayyid (keturunan nabi) dan warna lainnya bukan sayyid.

Saya memang sering terlihat asing bagi jamaah lainnya. Bukan hanya karena baju dan kulit saya, tapi juga karena cara beribadah saya yang non-Syiah. Sejak wudu saja, saya sudah dipandang aneh. Bagi penganut Syiah, membasuh tangan untuk berwudu tidak boleh dengan membasahinya di bawah pancuran keran, tapi dengan cakupan tangan. Sisa air dari tangan itu lalu diusapkan sedikit di kepala dan sedikit di kaki. Jadi, tanpa mengusap telinga dan tanpa membasuh kaki. Dalam buku Amozes Namaz (petunjuk salat) yang saya beli di Bazar Bozorge (Pasar Besar), ternyata memang demikian aturan wudu.

Ketika masuk masjid, saya juga asing. Mereka mengambil turbah (tanah bulat atau persegi empat dari tanah ''suci" Karbala, tempat cucu nabi sekaligus anak Ali bin Abi Thalib meninggal) yang tersedia di rak pintu masjid untuk alas sujud, sedangkan saya ngeloyor begitu saja. Apalagi sewaktu berdiri salat, hanya saya yang bersedekap. Jamaah lain membiarkan tangan lurus ke bawah.

Kekakuan di tengah jamaah itu segera cair setelah Karami, warga Iran yang lebih dari 15 tahun menjadi staf lokal KBRI, yang mendampingi saya, menjelaskan kepada jamaah bahwa saya sedang belajar tentang Syiah dan masyarakat Iran. Paham Syiah memang amat kental bagi masyarakat Iran. Berkali-kali saya bertemu orang dan ditanya dengan pertanyaan yang sama: Dari negara mana, penganut Syiah atau tidak, dan ketika saya menjawab Suni, mereka bertanya pengikut mazhab apa?

Pada Ramadan hari ketiga, saya salat Duhur didampingi Choiruddin, pelajar Indonesia yang sudah tiga tahun belajar di Iran, di Haram Muthahar Imam Khumeini (masjid dan makam Imam Khumeini). ''Jika ditanya orang, Pak Ustad sebaiknya menjawab saya pengikut Suni bermazhab Imam Syafii," pesan Choiruddin.

Benar kata Choiruddin. Beberapa menit kemudian, dua orang berpakaian rapi dan berjas menghampiri saya. Mereka mengajukan pertanyaan yang sama. Dengan bahasa Arab yang lumayan fasih, dua orang itu berbicara sangat sopan dan toleran terhadap kami yang Suni. Bahkan, keduanya -orang kampus sekaligus penghafal Alquran- menyebut beberapa kebaikan Imam Syafii.

Sekalipun ulama Suni, Imam Syafii sangat dicintai penganut Syiah. Banyak penduduk Iran yang bernama Syafii.

''Jika bukan orang kampus, Pak Ustad pasti diceramahi panjang lebar, yang intinya ajakan untuk meninggalkan paham nenek moyang yang tidak benar dan mengikuti Syiah," kata Choiruddin setelah mengucapkan Khoda hafez (Tuhan menjagamu) sebagai ucapan perpisahan kepada keduanya.

Hampir semua masjid di Iran yang saya kunjungi dihias dengan kaligrafi yang sangat indah. Jangankan masjid, tembok-tembok rumah dan kantor pun berhias kaligrafi. Pada mihrab Masjid Jamik Imam Shodiq Alaihissalam, misalnya, terdapat kaligrafi surat An-Nur ayat 35, "Allah adalah (pemberi) cahaya langit dan bumi...". Mengapa ayat itu yang dipilih? Bagi mereka, ayat itu ada kaitannya dengan kedudukan para imam Syiah. Cahaya Allah hanya bisa terpancar di langit dan bumi melalui para imam.

Terdapat juga doa dalam kaca dan berlampu yang menggambarkan penantian akan datangnya Imam Mahdi yang sedang dirindukan sebagai pemberi solusi semua masalah kehidupan. Sebutan untuk imam yang dinantikan itu bermacam-macam. Ada kalanya dipanggil Wali Ashr, Imam Zaman, Shahibuz Zaman, atau Mahdi al Muntadhar.

Setiap usai salawat nabi dengan lagu yang khas, baik sewaktu mendengar azan maupun selesai salat, mereka selalu menambah dengan doa wa'ajjil farajahum (wahai Allah percepatkan selesainya semua masalah umat dengan kehadiran Mahdi al-Muntadhar). Ada juga doa yang terpampang di tembok, Ya shahibaz Zaman adrikni (Wahai Imam yang ditunggu, beri saya jalan keluar).

Ada juga kaligrafi yang dipasang di hampir semua toko yang terkenal dengan sebutan kaligrafi Waiy Yakad. Sebutan itu terkait dengan bunyi awal ayat yang ada dalam kaligrafi tersebut, yaitu Surat Al-Qalam ayat 51, yang artinya ''Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka tatkala mereka mendengar Alquran".

Pada Ramadan dua tahun yang lalu, saya sudah membeli kaligrafi itu karena indah dan sangat populer. Melihat artinya, saya menduga ayat tersebut untuk penangkal kejahatan. Namun, baru pada kunjungan kali ini saya menemukan jawabannya bahwa itu adalah kaligrafi ''pelaris dagangan".

''Masyarakat Iran yang terkenal cerdas ternyata juga menyukai jimat," kata saya kepada Buyuk, warga Iran yang bertugas sebagai sopir di KBRI. Mendengar kelakar saya itu, dia hanya tersenyum.

Dadan Maula, ketua Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran, punya pandangan menarik tentang fenomena tersebut. ''Bahkan, 'jimat' yang banyak beredar di masyarakat Indonesia ada kaitannya dengan budaya dan keyakinan orang Iran, Pak," katanya setelah sama-sama mengikuti upacara memperingati kemerdekaan ke-65 RI di Teheran.

Dia menunjukkan beberapa bukti, antara lain, gambar pedang pada jimat di Jawa. Gambar itu diduga kuat adalah gambar pedang Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang juga sangat populer di Iran. Kaligrafi berbentuk kepala singa yang banyak kita jumpai di Indonesia juga sangat mungkin dari Iran. Sebab, gambar tersebut juga ada di bendera Iran pada zaman pemerintahan Shah Pahlevi. Orang Iran menyebut gambar itu dengan shir va khurshid (harimau dan matahari).

Saat berada di pasar dekat masjid, saya ditawari Buyuk yang sudah lansia itu untuk membeli tasbih zahra untuk oleh-oleh. ''Tasbih apa lagi," pikir saya. Saya menduga tasbih (alat penghitung zikir) itu terbuat dari bunga karena zahra dalam bahasa Arab berarti bunga. Setelah masuk toko, ternyata itu tasbih biasa seperti yang banyak dijumpai di Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa orang Iran menyebut itu dengan tasbih zahra. Ternyata, karena orang Iran menggunakan tasbih selain untuk berzikir subhanallah, alhamdulillah, dan Allahu Akbar, juga untuk memanggil-manggil imam atau orang suci pujaan mereka. Ya Zahra (gelar untuk Fatimah, putri Rasulullah, istri Ali bin Abi Thalib) atau Ya Husein (cucu nabi, putri Fatimah) atau Ya Abal Fadhal (imam atau pejuang yang terpotong-potong tubuhnya karena membela Imam Husein di Karbala).

Sebelum keluar dari toko, pemilik toko mengangkat tangan saya sambil mengatakan dengan bahasa Persia, Andunezi khaeli khube. Ba Iran Israel ra ruswa kunim (Indonesia sangat baik, bersama Iran, kita tumpas Israel". ''Bale. Mamnun," jawab saya, yang berarti, ya dan terima kasih.

Saya tidak tahu dia paham atau tidak terhadap jawaban saya. Tapi, yang jelas, dia kemudian mengangkat kedua ibu jari tangannya (Jika hanya mengangkat satu ibu jari, itu berarti penghinaan di Iran). Tapi, karena sudah menjadi kebiasaan, saya sering keliru memuji orang dengan satu ibu jari. (bersambung)

JAWA POS, 3 SEPTEMBER 2010
Source : http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=153463

Bergerak setelah 3.127 Tahun Jadi Mumi

SEJAK kemarin (2/9), kami menyimpang dari jalur Sungai Nil menuju Gurun Sinai untuk napak tilas kisah Nabi Musa. Dialah musuh besar Firaun yang diceritakan oleh agama-agama Ibrahim di dalam kitab Taurat, Injil, dan Alquran. Utusan Allah yang terlahir di zaman Ramses II ini sangat banyak diceritakan di dalam kitab suci sebagai ''petarung tangguh'' yang diutus Tuhan untuk menghentikan keganasan Firaun.

Sejak dari Abu Simbel di perbatasan Sudan sampai Kairo, sebenarnya tim ekspedisi sudah menempuh sekitar 85 persen panjang Sungai Nil. Tidak jauh lagi kami akan sampai di Alexandria sebagai muara sungai terpanjang di dunia itu. Jaraknya hanya tinggal 250 km. Tetapi, selama beberapa hari ke depan, kami sengaja tidak melanjutkan perjalanan menyusuri sungai ke arah muara, melainkan menyimpang ke timur menyeberang Teluk Suez terlebih dahulu.

Ada beberapa agenda yang ingin kami telusuri terkait dengan kisah eksodus Bani Israil dari Mesir. Itu berhubungan erat dengan berbagai situs Mesir kuno yang bercerita tentang Firaun di sepanjang Sungai Nil. Dengan mengembangkan penelusuran ini, saya berharap pembaca akan memperoleh gambaran lebih utuh tentang kisah Firaun v Nabi Musa.

Di manakah Musa dilahirkan? Di mana dia dibesarkan? Di mana pula dia melakukan penyeberangan saat dikejar oleh Firaun? Siapakah Firaun yang tenggelam di Laut Merah: Ramses II ataukah Firaun yang lain? Dan seterusnya, termasuk saya akan mendaki Gunung Sinai untuk merasakan suasana saat Nabi Musa menerima wahyu Taurat di Jabbal Musa.

Kami akan mengakhiri napak tilas kisah Musa ini di Kota Sharm El Sheikh, tempat Musa bertemu dengan manusia misterius, Khidr, yang sempat menjadi guru spiritualnya. Perjalanan menyusuri kawasan Sinai menempuh jarak lebih dari 1.000 km, sampai balik lagi ke lembah Sungai Nil di dekat delta untuk melanjutkan ekpedisi ke muaranya di laut Mediterania.

Tidak seperti biasanya yang bercerita secara deskriptif, setidak-tidaknya dalam dua tulisan ini (hari ini dan besok), saya akan memberikan sedikit analisis untuk menyambungkan cerita secara utuh tentang kisah Musa v Firaun. Selebihnya, saya akan menuangkan cerita perjalanan spiritual ini dalam bentuk buku yang insya Allah akan saya terbitkan bulan depan.

Saya sempat menyinggung keberadaan Musa dan Firaun ketika bercerita tentang Kota Fayoum. Kawasan subur itu pernah menjadi permukiman orang Yahudi alias Bani Israil sejak zaman Nabi Yusuf. Di sanalah istana Qarun berada. Di sekitar kawasan itu pula Nabi Musa dilahirkan.

Kalau kita lihat dalam peta Sungai Nil, kota tersebut ada sebelum Kota Memphis, yang kala itu sudah tidak menjadi ibu kota Kerajaan Mesir lagi. Ibu kota di zaman Ramses II sudah berpindah ke Luxor. Tetapi, Memphis masih menjadi kota metropolitan sampai ribuan tahun kemudian. Karena itu, wajar para raja memiliki istana musim panas di kawasan dekat delta Sungai Nil tersebut. Tak terkecuali Raja Ramses II. Tidak heran pula bila di Museum Memphis terdapat patung Ramses II dalam ukuran raksasa.

Saat Musa dilahirkan, Ramses II sudah berusia di atas 54 tahun. Dia sudah mengangkat dirinya sebagai Tuhan. Kalau kita telusuri sejarahnya, Ramses II diangkat sebagai Firaun pada usia 24 tahun. Dia sudah sepenuhnya mengendalikan Mesir dalam waktu dua puluh tahun pertama. Saat mengangkat dirinya sebagai Tuhan, kekuasaannya sudah berlangsung 30 tahun.

Setelah waktu itulah, Musa lahir dari rahim seorang wanita Bani Israil sebagai keturunan keempat dari Nabi Yakub. Musa sezaman dengan Qarun, familinya, yang bekerja pada Ramses II sebagai penjilat. Kelahiran Musa menggusarkan Firaun. Sebab, para penasihat spiritualnya mengatakan bahwa akan lahir bayi laki-laki dari kalangan Bani Israil yang kelak mengalahkan kekuasaan Firaun. Dia pun memerintahkan pembunuhan setiap bayi laki-laki dari Bani Israil (QS. 2: 49).

Tetapi, bayi Musa diselamatkan oleh Allah dengan cara yang sangat istimewa. Ibu Musa memperoleh ilham dari Allah untuk menghanyutkan bayinya di aliran Sungai Nil. Atas kehendak-Nya, bayi yang diletakkan di keranjang bayi itu akhirnya ''berlabuh'' di istana Firaun di Memphis. Saat itu, sangat mungkin Nefertari, istri yang paling dicintai Firaun, sedang berada di taman pinggir Sungai Nil. Dia melihat bayi lucu itu dan langsung jatuh hati kepadanya.

Maka, dia lalu mengambil bayi tersebut dari keranjangnya dan meminta Firaun tidak membunuhnya. Bahkan, justru memelihara bayi laki-laki berkulit putih yang jelas-jelas bukan dari kaum Firaun tersebut (QS. 28:9). Ramses II tidak mampu menolak permintaan sang istri tercinta. Apalagi Nefertari pernah kehilangan anak laki-laki, Amunherkhepseshef, yang meninggal saat masih remaja. Anak laki-laki itu semula digadang-gadang menjadi pangeran yang akan menduduki takhta kekuasaan Ramses II.

Selama tinggal di kerajaan Firaun, Musa terus mendapat perlindungan Allah. Bayi itu tidak mau disusui siapa pun. Dia hanya mau menyusu kepada ibu kandungnya yang berwajah Bani Israil. Maka, untuk memenuhi permintaan istri tercinta, Ramses menyelenggarakan sayembara mencari perempuan yang mampu mengasuh dan menyusui bayi itu. Akhirnya terpilihlah ibu Musa sebagai pengasuh yang menyusui dan memelihara Musa sampai masa kanak-kanaknya berakhir (QS. 28: 12).

Singkat cerita, Nabi Musa yang musuh besar Firaun itu sejak bayi dipelihara dan dibesarkan di dalam istana Firaun sendiri. Sampai suatu ketika, setelah menjadi pemuda, dia membunuh orang Qibthi (orang Mesir asli) yang sedang berkelahi dengan seorang pemuda Bani Israil. Firaun pun tidak mampu menahan diri untuk menghukum Musa. Dia geram kepada Musa, pemuda Bani Israil yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun tetapi tetap menunjukkan pembelaannya kepada Bani Israil yang dia benci.

Musa lari, meninggalkan Kota Memphis menuju negeri Madyan, di timur Mesir. Di sana, Musa diambil menantu oleh Nabi Syuaib sekaligus belajar agama kepadanya selama sepuluh tahun atau lebih (QS.28: 27). Menjelang usia empat puluh tahun, Musa bersama keluarganya meninggalkan negeri Madyan menuju Mesir. Di tengah perjalanan, di sekitar Gunung Sinai, Musa melihat api di sebuah bukit. Dia pun mendaki bukit itu. Ternyata, di bukit itulah dia menerima perintah dari Allah untuk menghentikan kesewenang-wenangan Firaun serta mendakwahkan agama Tauhid. Allah pun membekali Musa dengan beberapa mukjizat.

Sebelum kedatangannya kembali ke Mesir itulah, Firaun Ramses II meninggal dunia. Beberapa tahun sebelum kematiannya, Ramses II menderita sakit komplikasi yang menyiksanya. Kekuasaannya tidak lagi efektif sehingga kemudian diserahkan ke anaknya, Merneptah, yang sekaligus panglima perangnya. Ramses II meninggal dunia dalam usia 97 tahun dan dimakamkan di Lembah Raja. Sayang, makamnya dibobol pencuri harta Firaun. Keberadaan muminya sempat tidak jelas. Baru pada 1881, mumi Ramses II ditemukan para arkeolog di sekitar Lembah Raja untuk dipindahkan ke Museum Mesir di Kairo.

Yang menarik, kata para arkeolog, ketika kain kafan mumi itu dibuka, tangan kiri Ramses II bergerak terangkat dari posisi silang di depan dadanya. Dia lalu menunjukkan ekspresi terakhirnya saat meregang nyawa. Entah apa yang mengakibatkan tangan mumi itu bisa bergerak meski sudah lewat 3.127 tahun dari saat kematiannya. (bersambung/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 3 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=153462

Kubah Timah Putihnya Berpendar di Langit Kairo

Ada satu ikon Kota Kairo yang selalu menghiasi buku-buku panduan wisata bagi para turis. Yaitu, Masjid Muhammad Ali Pasha. Masjid dalam Benteng Shalahuddin itu sungguh indah. Kubahnya yang berlapis timah putih berpendar di langit Kairo, terlihat dari berbagai penjuru kota. Apalagi, benteng tersebut memang berada di Bukit Muqattam yang tinggi.

Masjid yang didirikan pada 1830, zaman Sultan Ali Pasha, itu kini sudah berusia 180 tahun. Masjid tersebut dibangun Yusuf Bushnak, arsitek dari Turki kelahiran Bosnia. Desainnya mengadaptasi bangunan-bangunan Romawi dan Eropa modern. Tempat ibadah itu berlokasi di bagian tertinggi Benteng Shalahuddin sehingga harus menghancurkan dua bangunan bekas istana Mamluk, yang pernah berkuasa di Mesir.

Saya sengaja datang Jumat. Sebab, pada hari itu masjid agung tersebut tidak digunakan untuk salat lima waktu. Ruang masjidnya luas dengan desain akustik yang memukau. Tata suara dalam masjid didesain sedemikian rupa. Karena itu, suara muazin yang mengumandangkan azan tanpa pengeras suara pun tetap terdengar cukup jelas. Apalagi menggunakan mikrofon, suara khatib yang berkhotbah bergema dengan megah.

Desain konstruksinya juga hebat. Kubahnya yang setinggi 52 meter hanya disangga empat tiang dengan bentangan lebih dari 25 meter. Apalagi, bagian dalam kubah tersebut masih dibebani lampu gantung khas Eropa yang berbobot lebih dari 2 ton. Sedangkan di bagian luar, menjulang menara-menara setinggi 82 meter. Saya dan teman saya yang berpendidikan teknik sipil berdecak kagum kala mengamati bangunan itu.

Kubah tersebut tidak hanya indah dari luar. Dari dalam masjid pun, eloknya bukan main. Selain ornamen, kubah utamanya disanggah empat kubah berbentuk setengah lingkaran yang berukuran lebih kecil. Di situlah kecerdikan sang arsitek. Dia bisa memadukan kebutuhan artistik dan kekuatan konstruksi.

Di pojok-pojok pertemuan antarkubah utama dan pendukung terdapat kaligrafi nama-nama khalifah pada zaman Khulafaur Rasyidin. Yakni, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan bagian atas mihrab bertulisan Allah dan Muhammad Rasulullah.

Warna hijau dan emas mendominasi dekorasi interior masjid. Berpadu dengan batu onyx dan marmer putih bergurat-gurat cokelat. Sedangkan karpet merah menyala tergelar di lantainya. Sungguh kombinasi yang benar-benar indah. Masjid dengan desain modern itu menunjukkan cita rasa Sultan Ali Pasha yang tinggi. Dia ingin menampilkan Islam Mesir dalam wajah modern.

Padahal, Ali Pasha bukan orang Mesir asli. Dia orang Albania asal Kavalla yang datang ke Mesir sebagai panglima pasukan Turki utusan Dinasti Usmani. Ali dikirim untuk membantu rakyat Mesir melawan pasukan Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte yang menjajah Mesir.

Keberhasilan memukul mundur tentara Napoleon mengantarkan Ali menduduki jabatan gubernur Mesir. Dia mendapatkan dukungan rakyat dan memperoleh restu ulama-ulama Al Azhar. Maka, sejak itulah dia merintis Dinasti Muhammad Ali Pasha yang menjadi kerajaan terakhir di Mesir. Ali berkuasa di Mesir selama 44 tahun (1805-1849).

Pemerintahannya bergaya militer. Untuk menstabilkan situasi dalam negeri, Ali perlu menumpas petinggi-petinggi Mamluk yang menguasai Mesir pada generasi sebelumnya. Ratusan petinggi Mamluk diundang makan di istana, kemudian dihabisi tanpa ada yang tersisa. Konon, jumlahnya tak kurang dari 500 orang.

Sultan yang kontroversial itu mengembangkan Mesir modern dengan dibantu anaknya, Ibrahim Pasha. Di bawah kendali bapak-anak tersebut, kekuasaan Mesir meluas sampai Syria, Palestina, Yaman, Saudi Arabia, bahkan Oman, Iraq, dan Bahrain. Ali bercita-cita membuat imperium Islam baru untuk menyaingi Dinasti Usmani, Turki, yang mengutusnya. Tetapi, pada akhirnya kekuasaan Ali bisa ditekan Turki yang bersekutu dengan Inggris dan Prancis. Sejak itulah intervensi dunia Barat masuk ke Mesir hingga kini.

Pada zaman Dinasti Ali Pasha itulah Mesir berkembang menjadi negara yang berorientasi ke Barat, khususnya Eropa. Lebih khusus lagi, ke Prancis. Ali mengirim banyak pelajar untuk bersekolah di Eropa. Dia juga melakukan berbagai kerja sama ekonomi dan perdagangan serta mengembangkan sistem administrasi pemerintahan, arsitektur, seni budaya, dan konstruksi bangunan.

Pada zaman Muhammad Ali pula, Mesir membangun bendungan-bendungan baru, memperbaiki kanal-kanal pengairan Sungai Nil, dan menumbuhkan sektor pertanian. Dia memberikan perhatian lebih kepada komoditas kapas dan tebu. Dia juga memperkuat armada militer sehingga sangat disegani di kawasan Timur Tengah.

Dinasti Ali Pasha runtuh pada zaman Raja Farouq, tepatnya 1952. Raja yang terkenal hidup mewah itu dikudeta rakyat Mesir di bawah pimpinan Jenderal Muhammad Najib dan Gamal Abdul Nasser, yang kemudian mereformasi pemerintahan Mesir menjadi republik pada 1953. Sistem pemerintahan itu bertahan hingga sekarang. Sedangkan Raja Farouq diasingkan ke Monaco sampai meninggal. Raja berbobot 140 kg tersebut wafat di atas meja makan saat jamuan di Roma, Italia, dalam usia 45 tahun.

Setelah Ali wafat, keturunannya meneruskan kebijakan membawa Mesir ke Western-minded. Pada era Said Pasha, Mesir membangun Terusan Suez bekerja sama dengan Inggris dan Ferdinand de Lesseps dari Prancis. Kanal strategis itu menjadi salah satu sumber pemasukan yang signifikan, yang kelak menjadi rebutan tiga negara pengelola (Mesir, Inggris, dan Prancis). Sampai kini, Terusan Suez menjadi jalur kapal-kapal besar berlalu lalang antara Laut Mediterania dan Laut Merah.

***

Begitu banyak kisah yang dihamparkan Allah di sekitar kita. Ada yang baik. Ada juga yang buruk. Semua mengandung hikmah bagi kita agar menjadi orang yang lebih baik pada masa depan.

Sedangkan orang sukses adalah orang yang bisa mengendalikan diri untuk selalu berbuat baik. Itulah yang dalam Alquran disebut sebagai orang bertakwa. Sementara itu, orang zalim adalah pihak yang tak mampu mengendalikan dorongan hawa nafsu sehingga mencelakakan diri sendiri di dunia maupun akhirat.

"Maka, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan? Allah membiarkannya tersesat berdasar ilmu-Nya. Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk selain Allah? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45: 23)." (bersambung/c11/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 02 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=153272