Rabu, 08 September 2010

Mencegat Lailatul Qadar di Tepi Laut Mediterania

SHARM El Sheikh adalah kota terakhir di Gurun Sinai yang kami kunjungi. Dari kota di tepi Laut Merah itu, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pantai Teluk Suez yang mengarah ke terowongan penyeberangan kembali. Jaraknya sekitar 500 km. Memasuki benua Afrika, kami mengarah ke delta Sungai Nil, dan menyusurinya sampai ke muara di Kota Alexandria.

Sebenarnya, di bagian delta, Sungai Nil terpecah menjadi beberapa cabang yang menuju ke muara. Salah satunya mengarah ke Alexandria. Sedangkan muara utamanya berada di Kota Dumyat dan Kota Rashid. Semua berakhir di Laut Mediterania.

Karena keterbatasan waktu yang ada, kami hanya memilih salah satu cabang, yakni ke kota yang paling besar dan paling banyak menyimpan sejarah: Alexandria. Inilah kota yang pernah menjadi ibu kota Mesir selama 1.000 tahun di zaman Yunani-Romawi.

Alasan lain mengapa kami memilih Alexandria sebagai terminal terakhir, karena kota ini memiliki kadar spiritual yang cukup tinggi bagi para pencari ''Kebenaran Tunggal''. Di antaranya, di sana terdapat masjid seorang guru sufi yang sangat terkenal, yaitu Abul Abbas al Mursyi. Masjid, yang kemudian menjadi makamnya itu, adalah kompleks makam 12 wali yang juga murid-muridnya. Kompleks itu menjadi salah satu tujuan utama para wisatawan yang datang ke Alexandria.

Di Alexandria juga terdapat makam ''orang biasa'' yang namanya disebut-sebut di dalam Alquran. Dialah Luqman el Hakim. Orang bijak yang tidak disebut sebagai nabi itu nasihat-nasihatnya menyentuh sanubari dan sangat mendalam secara spiritual. Bahkan, namanya lantas diabadikan sebagai nama surat ke-31 dalam Alquran: Surat Luqman. Sayang, ketika kami menziarahinya, kompleks makamnya sedang direnovasi dan ditutup untuk sementara.

Kami ingin menghabiskan sisa hari ekspedisi spiritual Jawa Pos Jelajah Sungai Nil ini di Alexandrea. Berada di sebuah tempat bersejarah yang mengandung nilai-nilai spiritual bagi para pencari Tuhan. Tidak berada di samping makam para pelaku sufisme itu, melainkan bertafakur di muara Sungai Nil yang menjadi saksi bisu atas berjalannya sejarah masa lalu dengan segala hikmahnya.

Ketika berada di Masjid Abbas al Mursyi, saya sempat menyaksikan para pelaku tarekat melakukan ritual ibadah khasnya. Puluhan orang berkerumun dalam tarian sufi. Sambil menari dan bertepuk, mereka melantunkan puji-pujian: ya hu... ya hu... ya hu... (wahai Dia ... wahai Dia... wahai Dia), sambil menggelorakan Asmaaul Husna. Tak kurang dari lima kelompok aliran tarekat yang siang itu berkumpul membentuk halaqah masing-masing di masjid tepi pantai itu.

Malamnya, di masjid berbeda, saya menyaksikan ribuan orang melakukan salat tahajud. Jamaahnya membeludak, menimbulkan kemacetan lalu lintas di depan Masjid Al Qaid Ibrahim, sampai menjelang waktu sahur. Mereka meningkatkan ibadah di sepuluh malam terakhir untuk menyambut datangnya puncak Ramadan: Lailatul Qadar.

Di beberapa masjid lain, saya juga melihat para pelaku iktikaf yang terus-menerus membaca kitab suci Alquran sepanjang hari hingga malam. Saya memilih cara saya tersendiri untuk bertafakur menjelang berakhirnya Ramadan. Bulan suci yang penuh hikmah, bagi siapa yang berniat mencarinya.

Saya merenung di teras kamar lantai empat penginapan kami yang persis menghadap ke Laut Mediterania. Beratap langit bertabur bintang. Menghadap ke kegelapan laut yang mahaluas dengan debur ombak yang terdengar sayup-sayup. Sesekali terdengar teriakan orang di jalan dan suara klakson mobil yang terjebak kemacetan di bawah sana. Sementara itu, di masjid-masjid mengalun suara pujian dan ayat-ayat Alquran yang dilantunkan dalam salat-salat yang panjang.

Saya ingin merenungi Ramadan kali ini dalam realitas kehidupan tanpa harus mengasingkan diri dan menyepi dari hiruk-pikuk duniawi. Sebab, saya merasakan Tuhan tidak hanya hadir di tempat-tempat sepi yang terasing. Tetapi, Dia juga merasuk ke seluruh dinamika kehidupan makhluk-makhluk-Nya, dalam sepi maupun keramaian tiada henti.

Dia berada bersama dengan orang-orang yang sedang salat sendiri maupun berjamaah. Dia juga sedang meliputi mereka yang berbuat maksiat, sendirian maupun bersama-sama. Dia kini mendampingi orang-orang yang bersabar dalam menghadapi segala ujian hidup, sekaligus meliputi orang-orang yang ingkar dalam menghadapi kebenaran.

Ya, Allah adalah Zat yang sedang bersama seluruh makhluk-Nya, di mana pun mereka berada. Langit luas yang bertabur miliaran bintang berada di dalam Kebesaran-Nya yang tiada tara. Lautan lepas yang berselimut kegelapan dan kecipak ombak sedang larut dalam Keperkasaan-Nya. Bahkan, seluruh peristiwa di langit dan di bumi, tak ada yang terjadi tanpa kehadiran-Nya. Sungguh, alam semesta hanyalah sebutir debu yang ''tenggelam'' dalam Samudera Keagungan yang tak berhingga.

''Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu'' (QS 4: 126). ''Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang yang kamu lihat (gaya gravitasi). Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari serta bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang telah ditentukan. Allah mengatur segala urusan, menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu (QS 13: 2).

Malam-malam akhir Ramadan bagaikan hari-hari di mana Nabi Musa diperintah Allah menyempurnakan puasa sebelum berbicara dengan-Nya. Dengan kemurnian puasanya itu beliau menerima wahyu di Gunung Sinai. Hari-hari ini juga bagaikan saat-saat akhir tahanuts Rasulullah SAW di Gua Hira', yang sesudah itu beliau menerima wahyu Alquran nul Karim, cahaya penerang bagi manusia akhir zaman.

Turunnya hikmah ilmu kehidupan selalu seiring dengan proses penyucian diri yang sempurna. Ketika jiwa dan raga telah larut dalam proses penyerahan diri kepada Zat Yang Mahasuci, itulah saat Lailatul Qadar turun kepada orang-orang yang berpuasa sempurna pada Ramadan. Hikmah itu dibawa oleh Malaikat Jibril yang memang bertugas menyampaikan ilmu-ilmu Allah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Berjuta malaikat mengiringi sang Jibril di akhir-akhir proses penyucian diri yang istiqamah.

Lailatul Qadar tak akan turun kepada orang-orang yang secara ''dadakan'' mencegat datangnya malam seperti mencegat datangnya keberuntungan dalam sebuah undian. Sebab, sesungguhnya, bukan ''malam'' itu yang menjadi substansinya, melainkan pengetahuan mendalam yang disebut Alquran sebagai Al Hikmah. Betapa naifnya orang-orang yang ''mencegat'' datangnya ''sebuah malam'' di akhir Ramadan secara dadakan, karena malam hari di Indonesia sebenarnya sore hari di Timur Tengah, dan siang hari di Amerika.

''Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada saat Lailatul Qadar... Turun para malaikat dan Jibril di malam itu dengan izin Tuhannya, untuk mengatur segala urusan (yang penuh hikmah)...'' (QS 97: 1&4). (bersambung/ari)


JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 8 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=154277

Tidak ada komentar:

Posting Komentar