Senin, 06 September 2010

Mendaki Gunung Sinai pada Waktu Sahur

MENJELANG magrib, kami sampai di Kota St Katherine. Itulah sebuah kota kecil di kaki Gunung Sinai, yang penduduknya hanya beberapa ribu keluarga. Kotanya tenang, jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermotor. Kawasan lembah tersebut berada di cekungan perbukitan batu yang tandus dan tebing-tebing tinggi. Bila matahari hampir tenggelam, sekitar pukul tujuh malam, pemandangannya seperti bayang-bayang raksasa yang berkerumun.

Kami langsung mencari penginapan agar bisa beristirahat sejenak setelah berkendara enam jam melintasi gurun pasir. Sejumlah hotel strategis yang kami datangi fully booked. Tak ada kamar kosong. Kami lantas mencari tempat singgah yang agak ke ujung jalan. Alhamdulillah, masih ada kamar kosong. Ternyata, sejumlah hotel itu dipesan rombongan turis dari Eropa. Beberapa bus berderet-deret di depan hotel mereka.

Pukul dua dini hari, setelah salat malam dan sahur, kami telah berada di kaki Gunung Sinai. Terminalnya penuh dengan bus dan kendaraan para peziarah. Kebanyakan di antara mereka datang dari Eropa dan beragama Kristen. Sebagian lagi merupakan orang-orang Yahudi. Sedikit di antara mereka yang beragama Islam. Bagi orang Kristen dan Yahudi, berziarah ke Gunung Sinai setara dengan umrah ke tanah suci Makkah bagi umat Islam.

Mereka membawa perbekalan yang cukup untuk mendaki gunung setinggi 2.285 meter dari permukaan laut tersebut. Tetapi, pendakian dari kaki Gunung Sinai sebenarnya tinggal sekitar 1.000 meter. Jalan setapaknya hanya bisa dilewati unta dan manusia. Saya lihat, kebanyakan peziarah membawa ransel kecil berisi makanan dan minuman sambil memegang tongkat.

Yang paling penting adalah minuman atau air mineral. Sebab, berdasar pengalaman para peziarah sebelumnya, pendakian itu memakan waktu empat jam untuk naik dan tiga jam untuk turun. Jadi, total waktu yang diperlukan sekitar tujuh jam. Karena itu, tentu para pendaki harus mengganti tenaga yang hilang dengan makanan dan minuman. Sayang, kami tidak akan bisa melakukan itu karena berpuasa. Tetapi, tekad kami sudah bulat. Kami harus sampai di atas. Terutama saya, agar bisa bercerita kepada pembaca.

Pada waktu sahur itulah kami mulai mendaki dengan berjalan kaki. Suasana gelap malam mengharuskan peziarah membawa senter. Tapi, setelah beberapa saat berjalan dalam kegelapan, kami memilih tidak menggunakan senter lagi. Mata kami sudah beradaptasi dengan kegelapan malam. Apalagi, bulan sepotong di langit sangat membantu menerangi jalan setapak yang kami lewati.

Tak berapa lama berjalan, kami bertemu dengan gereja besar di kaki Gunung Sinai, Gereja St Katherine. Gereja itu cukup legendaris bagi masyarakat kota tersebut. Di depannya ada pos penjagaan polisi. Kami ditanyai, apakah sudah membawa pemandu untuk berziarah. Sebab, yang tidak kenal rute bisa tersesat dan tidak diizinkan meneruskan perjalanan. Kecuali, kami "menyewa" salah seorang polisi itu sebagai guide. Kami berusaha menawar agar bisa mendaki sendiri. Sebab, salah seorang anggota tim ekspedisi, Dadan S. Junaedy, pernah mendakinya.

Mereka bersikukuh melarang kami naik. Kecuali, kami mau menyewa unta dan penggembalanya yang orang Badui. Akhirnya, kami memutuskan menyewa unta saja, empat ekor, sekalian berhemat tenaga karena puasa. Maka, menjelang subuh itu, kami mengendarai unta menuju puncak Sinai.

Ternyata, naik unta dalam waktu lama tidak senyaman yang kita duga. Perut dan pinggang serasa dikocok-kocok, sakit semua. Apalagi, kala jalan menanjak dan unta kadang tidak dijaga sepenuhnya oleh para penggembala. Lebih nikmat berjalan kaki.

Setiap dua ekor unta dijaga seorang Badui. Maka, satu jam naik unta, istri saya menyerah. Dia ketakutan karena unta yang ditunggangi lepas kendali. Dia akhirnya minta turun di pos peristirahatan pertama. Dia tidak mau melanjutkan pendakian lagi. Dia ketakutan naik unta di jalan terjal, apalagi badan terasa pegal-pegal.

Saya memutuskan melanjutkan perjalanan berdua dengan Dadan. Sementara itu, anggota tim lain, Yovi, saya minta menemani istri saya di pos. Perjalanan yang tersisa masih sekitar 2,5 jam dengan rute yang semakin menanjak. Saya salat Subuh di atas unta. Sebab, tidak ada musala atau tempat yang layak untuk salat di daratan.

Dua jam kemudian, punggung dan perut saya benar-benar sakit. Hampir-hampir tak tahan rasanya. Untung, di depan saya sudah terlihat tempat pemberhentian terakhir, yaitu pos ketujuh. Sisa rutenya sudah tidak bisa ditempuh dengan naik unta lagi. Kami harus berjalan kaki. Lalu, masya Allah, sisa rute tersebut ternyata berupa tebing terjal menuju puncak Jabbal Musa. Di depan saya membentang anak tangga dari bebatuan dengan kemiringan 45-60 derajat.

Anak tangga itu berjumlah sekitar 800 buah. Ketinggian setiap terapnya sekitar 30 cm. Jadi, tebing yang masih harus didaki sekitar 250 meter lagi. Itulah perjuangan terakhir sebelum para peziarah menikmati matahari terbit di puncak Sinai dan merasakan suasana Nabi Musa saat berada di sana. Dengan memompa semangat, saya mendaki tebing curam tersebut dengan sangat berhati-hati. Hari menjelang pagi.

Ketinggian yang hanya 250 meter itu serasa berkilo-kilometer. Setiap belasan anak tangga, napas saya terengah-engah. Maklum, sudah lebih dari 20 tahun saya tidak mendaki gunung lagi. Tenggorokan juga semakin kering, tapi tidak bisa dialiri air minum karena berpuasa.

Meski medan superberat, semangat saya tak surut sedikit pun. Terbayang betapa Nabi Musa naik ke bukit itu sendirian untuk bermunajat kepada Allah. Sekitar setengah jam kemudian, perjuangan kami finis. Jantung serasa hampir copot. Napas memburu dalam dinginnya hawa pegunungan yang berkadar oksigen rendah.

Namun, sungguh luar biasa pemandangan di puncak Jabbal Musa. Di ufuk timur, matahari beranjak memperlihatkan diri. Warna langit yang kuning kemerahan menjadi latar belakang puncak-puncak gunung di sekitarnya, di antara lembah dan ngarai yang tiada tara. Subhanallah...!

Di puncak itulah para peziarah mengucap syukur kepada Sang Pencipta dalam bahasa agama masing-masing. Saya melihat, ada dua tempat ibadah tak seberapa besar yang bertengger di puncak Sinai, yaitu sebuah musala dan gereja. Sebagian peziarah memanfaatkannya untuk berdoa. Sebagian lagi memilih berdoa di tempat terbuka sambil menikmati matahari terbit.

Saya memilih berdoa dan bersyukur di atas sebuah batu besar, yang dari tempat itu saya bisa melihat lembah sekeliling puncak Jabbal Musa. Saya membayangkan, di situlah dulu utusan Allah tersebut bermunajat kepada-Nya, berdialog langsung dengan-Nya. Ketika beliau meminta kepada Allah untuk bisa melihat Zat-Nya, bukit di sekitar puncak Jabbal Musa bergetar hebat, lantas runtuh sehingga membuat Nabi Musa pingsan.

Kini saya menyaksikan bukit-bukit batu itu. Memang berbeda dengan bukit-bukit yang lebih jauh di sekelilingnya. Banyak batu di sekitar puncak Jabbal Musa yang terbelah berantakan, seperti pernah terkena gempa.

Saya menjadi ingat firman-Nya dalam Alquran: ... Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung, gunung itu pun hancur dan Musa jatuh pingsan. Setelah tersadar, Musa berkata, "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman (QS. 7: 143)." (bersambung/c11/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 6 SEPTEMBER 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=showpage&kat=1&subkat=53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar