Selasa, 31 Agustus 2010

Mencari Akhetaten, Kota yang Hilang

DI KOTA Asyut, kami hanya menginap semalam. Esok harinya, kami meneruskan perjalanan menuju kota berikutnya, Minya, yang berjarak sekitar 150 km dari Kota Asyut. Kami menempuhnya dalam waktu sekitar tiga jam di bawah pengawalan polisi Asyut sampai luar kota.

Perlu pengawalan polisi? Ternyata, kawasan Asyut terkenal dengan kelompok radikalnya. Polisi tidak berani mengambil risiko dengan membiarkan para turis berjalan tanpa pengawalan. Apalagi, turis asing yang tidak menguasai kondisi jalan sekitar Kota Asyut. Pengawalan secara estafet itu mengantar kami sampai benar-benar keluar dari Kota Asyut. Kami lalu disarankan menggunakan jalan zira'i alias jalan pertanian saja. Dengan begitu, kalau ada apa-apa terhadap kami di jalan, banyak orang yang bisa menolong.

Sebelum masuk ke Kota Minya yang sepi, kami memutuskan mencari situs yang jarang dikunjungi turis, yaitu sebuah kota yang hilang. Kota itu bernama Akhetaten. Itulah kota yang dulu menjadi pusat kerajaan Mesir kuno selama 16 tahun (1352-1336 SM) setelah Luxor. Rajanya bernama Ikhnaton, ayah Tutankhamun yang muminya menghebohkan karena berhias 120 kg emas.

Ada cerita menarik di sekitar Firaun Ikhnaton sehingga dirinya memindahkan ibu kota Luxor ke kota yang sama sekali baru, yang dinamai Akhetaten. Ternyata, firaun kesepuluh dalam dinasti ke-18 itu berpindah agama, dari agama pagan yang menyembah matahari ke agama tauhid yang menyembah Tuhan Yang Esa.

Ikhnaton terlahir dengan nama Amenhotep IV. Dia adalah anak Amenhotep III yang menyembah dewa matahari. Karena itu, namanya mengandung kata amun atau amen yang terkait dengan Amun Ra, sang dewa matahari. Dalam perjalanan spiritual, Amenhotep IV kemudian mengubah keyakinan. Dia membelot dan berganti nama menjadi Ikhnaton atau Akhenaten, yang bermakna pelayan Tuhan Yang Esa. Tuhannya bukan lagi Amun, melainkan Aton, sang pencipta matahari. Menurut beberapa kalangan, Amenhotep berpindah agama karena dipengaruhi ibunya, Quinty, yang konon keturunan Nabi Yusuf.

Dia lantas memindahkan ibu kota Kerajaan Mesir dari Luxor ke Akhetaten, kota yang dibangun dari nol. Sebuah kota di pinggiran Sungai Nil yang indah. Di situlah Ikhnaton mengembangkan agama tauhid selama 15 tahun masa pemerintahannya, didampingi istrinya yang terkenal cantik dan baik hati, Ratu Nefertiti.

Di bawah kepemimpinan Ikhnaton dan Nefertiti, Mesir mengalami masa transisi, termasuk revolusi dalam beragama. Ciri kuil-kuil yang dia bangun di sekitar Akhetaten berbeda dengan Kuil Karnak dan Luxor yang cenderung gelap karena tertutup atap dan pilar-pilar raksasa. Kuil Ikhnaton bernuansa terang dengan filosofi membiarkan matahari menyinari ruang-ruang di dalamnya.

Tetapi, pemindahan ibu kota kerajaan tersebut membuat para pendeta pagan yang menguasai Kuil Karnak dan Luxor geram. Karena itu, mereka mencari cara untuk menghalangi berkembangnya kekuasaan dan agama Ikhnaton. Momentum besar mereka dapatkan ketika Ikhnaton meninggal. Saat itu, anaknya, Tutankhaton, masih kecil. Dengan cerdik para pendeta pagan memengaruhi pejabat-pejabat kerajaan agar memilih menantu Ikhnaton yang bernama Smenkhkare sebagai pejabat sementara sambil menunggu Tutankhaton cukup umur.

Sekitar dua tahun masa transisi itu, Tutankhaton dilantik sebagai firaun dalam usia yang masih sangat muda, sembilan tahun. Para pendeta pagan yang berada di balik skenario tersebut bisa mengembalikan pengaruh agama pagan ke dalam istana. Maka, nama Tutankhaton diubah menjadi Tutankhamun. Kata Aton yang bermakna Tuhan Yang Esa diganti menjadi Amun yang bermakna dewa matahari. Sejak itu, ibu kota kerajaan dipindah lagi ke Luxor. Tutankhamun tidak bertahan lama dalam kekuasaan tersebut. Dia mati secara misterius dalam usia yang masih sangat muda, 18 tahun. Dia dimakamkan di Lembah Raja, sebagaimana jenazah para firaun.

Sedangkan Kota Akhetaten dibumihanguskan oleh para pendeta pagan, sehancur-hancurnya. Kota indah di tepi Sungai Nil itu kini hilang dari peta dan berganti nama menjadi Tell Al Amarna. Bisa sampai di situs reruntuhannya tidaklah mudah. Kami harus menyeberangi Sungai Nil bersama mobil kami dengan menggunakan feri. Setelah itu, kami melewati perkampungan padat untuk menuju kawasan perbukitan di kejauhan. Ketika kami sampai di sana, ternyata banyak warga setempat yang tidak mengetahui situs tersebut. Berkali-kali kami bertanya kepada penduduk, jawaban mereka selalu berubah-ubah. Membingungkan.

Ada yang menyebut situs kota yang hilang itu berada di sekitar perbukitan, tetapi ada juga yang menunjukkan arah sebaliknya ataupun lokasi yang berbeda lagi. Saya harus menyewa keledai milik penduduk setempat untuk menuju kawasan yang dimaksud. Sebab, kami tidak mungkin menggunakan mobil. Tetapi, hasilnya nihil. Akhirnya, kami memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Kota Minya yang tidak jauh lagi.

Kami menuju dermaga penyeberangan untuk menunggu feri sekitar satu jam kemudian. Saat menunggu kapal itulah kami berbincang-bincang dengan seorang sopir tuk-tuk, kendaraan sejenis bajaj di Indonesia. Si sopir menyatakan tahu tentang reruntuhan situs yang kami maksud. Tetapi, papar dia, kami tidak bisa mencapainya dengan mobil. Kami harus naik tuk-tuk. Maka, kami berempat naik tuk-tuk menuju lokasi reruntuhan Kota Akhetaten.

Alhamdulillah, ternyata benar. Kami bisa melihat reruntuhan Kota Akhetaten zaman Ikhnaton yang sudah berusia lebih dari 3.000 tahun. Istananya benar-benar hancur, tinggal satu tiang besar yang tersisa. Di sekitarnya, tampak fondasi-fondasi bekas rumah kuno dalam radius beberapa kilometer. Secara umum, kawasan tersebut telah berubah menjadi dataran padang pasir yang tandus dengan batu-batu berserakan.

Dari kisah kota yang hilang itu, kita bisa memperoleh pelajaran bahwa perjuangan menegakkan kebajikan atas kebatilan tidak selalu mudah. Dibutuhkan pengorbanan yang besar dan kesabaran yang kuat sampai Allah memutuskan memberikan yang terbaik kepada hamba-hamba-Nya yang sabar dan istiqomah.

Kekuasaan boleh hilang, harta benda boleh lenyap, bahkan jiwa boleh melayang untuk memperjuangkan kebajikan. Tetapi, kebajikan tetap saja kebajikan dan kebatilan tetap saja kebatilan. Akan datang suatu masa kala kebajikan bersinar terang benderang, ketika umat memperoleh manfaat yang besar dari sebuah perjuangan.

"Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang baik, dan mencegah dari yang buruk. Merekalah orang-orang yang beruntung (QS 3: 104)." (bersambung/c11/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 23 AUGUST 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=151773

Tidak ada komentar:

Posting Komentar