Selasa, 31 Agustus 2010

Kairo, Ibu Kota Negeri Seribu Menara

MENINGGALKAN kawasan Necropolis, kami memasuki ibu kota Mesir modern, yaitu Kairo. Inilah ibu kota keempat setelah Memphis, Luxor, dan Alexandria, yang menjadi pusat pemerintahan negeri Mesir selama ribuan tahun. Masing-masing ibu kota itu memiliki ciri khas yang sangat kental, terkait dengan peradabannya.

Memphis dan Luxor adalah ibu kota di zaman para Firaun beragama pagan. Karena itu, kedua kota tersebut meninggalkan artefak-artefak yang kental dengan tempat-tempat peribadatan agama pagan dan segala aksesorinya. Misalnya, kuil, patung sesembahan, dan makam raja-raja yang dipertuhankan.

Kondisi ini berbeda dengan Alexandria. Kota yang berseberangan dengan Eropa di Laut Mediterania itu banyak meninggalkan bekas-bekas yang terkait dengan peralihan agama pagan ke Kristen. Kota pantai ini menjadi saksi masuknya dua peradaban besar, yaitu Yunani dan Romawi, ke Mesir. Tetapi, kelak terbukti, mereka pun membawa peradaban Mesir dan juga pagan ke dalam budaya mereka.

Sebelum Nabi Isa terlahir, Alexandria menjadi pusat agama pagan ala Yunani-Romawi. Tetapi, setelah Nabi Isa lahir, berangsur-angsur Alexandria menjadi pusat penyebaran agama Kristen di Mesir. Akhirnya, terlahirlah agama Kristen Koptik yang khas Mesir, yang mengklaim sebagai penerima berita di masa-masa awal berkembanganya Kristen secara langsung.

Sedangkan Kairo sangat kental dengan budaya Islam. Kota ini dibangun kali pertama dengan nama Fustat oleh Amru bin Ash. Dia yang dikenal sebagai tokoh ''Pembuka Mesir'' itu menjadi gubernur pertama Kairo di zaman Khalifah Umar bin Khathab pada abad ke-7. Sejak itu, sang gubernur memindahkan ibu kota dari Alexandria ke Fustat.

Di zaman Ibnu Tulun, pusat pemerintahannya berpindah dari Fustat ke Al Qattai, yang juga berada di kawasan Kairo. Nama Kairo baru diperkenalkan pada zaman Kerajaan Fathimiyah pada 969 Masehi, dengan nama Al Qahiroh. Namun, nama tersebut terbaca oleh para pedagang Eropa sebagai Cairo. Maka, Kairo pun tumbuh secara khas dalam perpaduan budaya Arab dan peradaban Islam.

Pemilihan lokasi Kota Kairo agak mirip dengan Memphis sebagai ibu kota Mesir kuno. Kawasannya berada di dekat delta Sungai Nil yang subur. Luasnya sekitar 450 km persegi, dengan Sungai Nil membelah di tengah-tengahnya. Benar-benar sebuah kota yang indah dan strategis. Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari pantai dan pelabuhan -sekitar 200 km- menyebabkan kota ini berkembang menjadi kawasan yang terbuka secara internasional, sejak belum adanya transportasi udara.

Kini, kota terbesar di Afrika dan dunia Arab ini menjadi kota yang sangat padat dengan kompleksitas tinggi karena jumlah penduduknya yang besar. Yakni, sekitar 10 juta di malam hari dan 20 juta pada jam-jam kerja di siang hari. Kompleksitas itu terjadi akibat berkembangnya Kairo menjadi Kairo Raya, yang mencakup kota-kota di sekitarnya. Otomatis banyak orang di sekitar Kairo yang masuk ke ibu kota Mesir itu.

Sebagai ibu kota yang didirikan oleh pemerintahan Islam, Kairo berkembang seiring dengan penyebaran agama Islam. Pembangunan masjid terjadi di semua penjuru kota. Ada ribuan masjid yang kini digunakan umat Islam Mesir yang berjumlah sekitar 70 juta jiwa. Di Kairo saja, ada sekitar 4.000 masjid. Sedangkan di seantero Mesir terdapat sekitar 24.000 masjid. Jumlah penduduk Mesir sekitar 80 juta, dan 80 persennya beragama Islam.

Jadi, bisa dibayangkan bagaimana ''ramainya'' angkasa Mesir oleh suara azan bila saat datangnya waktu salat tiba. Karena itu, pemerintah Mesir sempat menetapkan peraturan untuk menyatukan suara azan di seluruh Mesir agar terdengar lebih sejuk dan teratur. Setiap masjid cukup me-relay suara azan yang dipancarkan dari sebuah stasiun radio terbesar di Mesir. Tetapi, peraturan yang ditetapkan tiga tahun lalu itu sampai sekarang belum terlaksana karena terjadi pro-kontra di lapangan.

Demikian banyaknya masjid di Kairo sehingga dalam satu kompleks bisa berdiri beberapa masjid sekaligus. Misalnya, kalau kita berdiri di ketinggian Benteng Salahuddin ke arah barat, kita akan melihat dua masjid besar, Masjid Sultan Hassan dan Masjid Ar Rifai, berdiri berdampingan. Di sekitarnya terdapat tiga masjid lain yang lebih kecil.

Salah satu masjid yang sangat bersejarah dan hingga kini masih menjadi pusat pengkajian Islam adalah Masjid Al Azhar yang didirikan pada 972 M. Inilah masjid tertua nomor tiga setelah Masjid Amru bin Ash (dibangun 641 M) dan Masjid Ibnu Tulun (dibangun 876 M). Tetapi, aktivitas Masjid Al Azhar paling padat karena masjid ini berada di dalam kampus Al Azhar, salah satu universitas tertua di dunia, yang telah menghasilkan ribuan ulama di berbagai negara.

Memasuki kawasan Al Azhar bukan main ramainya. Bahkan, cenderung macet. Sebab, tidak jauh dari kampus ini ada pusat perbelanjaan terkenal, yaitu Bazar Khan El Khalili yang sangat legendaris. Di sebelah bazar ini juga ada masjid besar, yakni Masjid Hussein. Di sana terdapat makam cucu Rasulullah yang menjadi korban perang saudara di Karbala. Hampir setiap hari makam cucu Rasulullah dikunjungi umat Islam, terutama dari kalangan syiah. Saya sempat salat di Masjid Husein.

Tak jauh dari Masjid Hussein, ada lagi Masjid Sayyidah Zaenab, yang sekaligus menjadi tempat pemakamannya. Dia juga cucu Rasulullah, adik Sayyidina Hussein.

Ketika salat di Masjid Al Azhar yang sudah berusia lebih dari 1.000 tahun, kita bisa merasakan kadar spiritual yang melingkupinya. Dari masjid inilah ribuan ulama Islam di seluruh penjuru dunia dihasilkan. Kajian-kajian dengan sistem halaqoh yang tradisional masih digelar di dalam masjid, melengkapi metode pembelajaran modern di dalam kelas-kelas kampus Al Azhar.

***

Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Kota Madinah, yang pertama beliau bangun adalah Masjid Quba'. Dari masjid inilah Rasulullah memulai penyebaran agama Islam untuk menyembah Allah yang Esa, dan menata peradaban umat. Setelah itu, beliau membangun masjid demi masjid untuk mengembangkan perjuangannya, sekaligus mengikat erat persaudaraan umat Islam secara berjamaah.

Tidak heran bila para sahabat Nabi dan pengikutnya meniru beliau dalam menyiarkan Islam ke berbagai penjuru dunia. Yakni, membangun masjid sebagai awal dari pembentukan umat. Termasuk ketika umat Islam masuk ke Mesir, mengalahkan kekuasaan Romawi yang menjajah. Masyarakat Mesir sangat bergembira ketika tentara Islam berhasil meruntuhkan kekuasaan Imperium Romawi, dan kemudian membangun Masjid Amru bin Ash yang legendaris itu.

Masjid yang hebat menjadi fondasi umat yang hebat pula. Dari sinilah berkumandang puji-pujian untuk Allah, Sang Penguasa Alam Semesta. ''Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk memuliakannya, dan disebut nama-Nya di waktu pagi dan petang hari'' (QS. 24: 36). (bersambung/ari)

JELAJAH SUNGAI NIL by AGUS MUSTOFA
JAWA POS, 30 AUGUST 2010
Source : http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=152772

Tidak ada komentar:

Posting Komentar